Sabtu, 02 April 2011

Nasi Bungkus

Nasi Bungkus

Di suatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan di sebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta .
Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut ,ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran , penyapu jalan, tuna wisma sampai Pak Polisi.

Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiran ku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah dia berjualan ? “Kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…??, untuk membunuh rasa penasaran ku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai di sebrang jalan , setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang.

”Dek, boleh kakak bertanya ?” tanyaku.

“Silahkan kak.” Jawab adik kecil.

“Kalau boleh tahu yang barusan Adik bagikan ketukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa ?” tanyaku dengan heran.

“Oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak… memang kenapa kak?” dengan sedikit heran , sambil ia balik bertanya.

”Oh... tidak! Kakak Cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?”

Lalu ,Adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu … aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma, setiap hari bekerja hanya mengharapkan belaskasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan.”

“Apabila kami mengingat waktu dulu… kami sangat-sangat sedih , namun setelah ibuku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik. Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu , jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup , kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.”

”Yang ibu ku selalu katakan ‘hidup harus berarti buat banyak orang ‘, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu Kasih kepada sesama serta Amal dan Perbuatan baik kita , kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang , kenapa kita harus tunda.”

”Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat , hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, apa yang kita bawa?”

Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hatiku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya,dibandingkan adik kecil ini.

Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Ya.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu.

Hanya Kasih yang sempurna serta Iman dan Pengharapan kepada-Mu lah yang dapat mengiringiku masuk ke Surga. Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikat ku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyakku.

(Oleh : Laila Nurul Muna)

Amplop Titipan Ustad


Peristiwa ini saya alami sekitar tiga tahun yang lalu. Hanya satu bulan setelah anak saya yang kedua lahir, saya menganggur. Perusahaan memberhentikan semua karyawannya (termasuk saya) begitu saja, tanpa memberikan pesangon sepeserpun. Kehilangan pekerjaan, tidak punya tabungan sama sekali, dan dengan orang anak yang masih kecil, sesaat kehidupan kadang kala seperti ingin berhenti.
Suatu pagi, ketika saya sedang menjemur pakaian, itu (dengan mencuci tentunya) merupakan pekerjaan saya pada pagi hari, seorang gadis datang ke pekarangan rumah kontrakan kami dengan tergopoh-gopoh. Matanya berkaca-kaca dan ia bicara dengan suara tangis yang tersendat, “Maaf Pak, saya menganggu...” ujarnya, tanpa basa-basi, “Saya berasal dari Cikampek dan saya hendak ke Plered. Saya kehabisan ongkos. Kalau Bapak berkenan saya ingin menjual kerudung yang tengah saya pakai ini sama Bapak. Saya sudah tidak punya uang lagi...”


Saya mengernyitkan kening. Bingung bagaimana menanggapinya. Saya kemudian tak urung memintanya untuk menunggu sebentar, dan saya menemui istri di kamar yang tengah menyusui bayi laki-laki kami. Saya terangkan permasalahannya, dan kemudian bertanya padanya, “Kita punya uang berapa lagi sekarang?”

Istri saya menjawab, “Tinggal dua puluh ribu lagi….”

Saya terdiam, namun kemudian berbicara dengan suara sedikit serak. “Bagi dua ya. Kita sedekahkan setengahnya…”

Istri saya setuju. Jauh di lubuk hati saya berpikir keras, cukup apa kemudian Rp. 10 ribu sisanya buat kami untuk kebutuhan satu hari saja? Ada bayi dan seorang anak kecil, dan dua orang dewasa di rumah ini yang perlu makan? Tapi saya tidak berpikir panjang lagi.

Kemudian saya menemui gadis itu yang sudah mencopot kerudungnya. “Berapa lagi yang kamu perlukan untuk sampai ke Plered?” tanya saya.

Jawabnya, “Sekitar Rp. 6000, Pak...”.

“Maaf, ini saya hanya punya segini, semoga bisa bermanfaat…” ujar saya. Gadis itu menyodorkan kerudungnya, “Ini kerudungnya, Pak…”

Saya menggeleng, “Tidak. Kamu pakai kerudung kamu lagi. Bantuan saya tidak ada apa-apanya, hanya semoga saja bisa membantu kamu, setidaknya untuk sampai ke Plered, tujuan kamu…”

Gadis itu menangis lagi, “Terima kasih, Bapak. Saya sudah sejak dari tadi, sudah sejak dari jalan besar sana meminta bantuan, tapi tidak ada yang mau menolong saya… Terima kasih, Bapak…”

Gadis itu permisi. Saya melanjutkan kembali menjemur pakaian dengan otak yang berpikir keras. Uang Rp. 10.000 yang tertinggal bersama kami mungkin akan dibelikan tahu, telur 2, dan sebungkus mi instan. Saya berkata kepada istri saya. “Kamu sama si Teteh (anak perempuan saya yang pertama yang masih berumur 3 tahun) makan sama telur dan tahu. Biar saya makan sama mi saja…”

Istri saya menukas, “Tapi Ayah kan sudah makan mi instan selama tiga hari ini berturut-turut…”

Saya tersenyum, “Untuk periode sekarang, sepertinya nggak apa-apalah dulu. Yang penting kamu sama si Teteh jangan sampai kekurangan gizi dulu…”

Istri saya terdiam, kembali tenggelam menyusui anak kami yang kedua.

Sisa hari itu dilalui dengan biasa saja. Malamnya, saya harus pergi ke pengajian yang letaknya sekitar 4 kilo dari rumah. Saya tidak menggunakan angkot ketika itu karena uang yang tertinggal hanya Rp. 2000 lagi dan saya tinggalkan bersama istri.

Seusai pengajian, ustad yang mengisi pengajian menghampiri saya. “Ini ada titipan dari seseorang…” seraya menyodorkan sebuah amplop. Saya gelagapan, “Dari siapa ya Ustad? Dan titipan apa ini?”

Ustad tersenyum, “Sepertinya uang. Siapa yang memberikannya, tidak perlulah tahu. InsyaAllah, halal dan thoyyib. Katanya ini hanya hadiah saja…”

Saya tidak berkata apa-apa lagi. Di sisi lain saya merasa berat, namun saya juga merasa bersyukur masih ada yang memperhatikan kondisi keluarga saya ketika berada dalam kesulitan. Saya mengucapkan terima kasih dan meminta Ustad untuk menyampaikannya kepadanya.

Di jalan, saya membuka amplop itu ternyata memang berisi uang Rp. 300.000! Subhanallah, itu jumlah yang sangat banyak buat saya. Saya belikan istri martabak telur kesukaan istri dan ketika sampai ke rumah, kami menyantapnya bersama, sementara anak-anak sudah terlelap. Istri saya berujar lirih, “Allah selalu akan mengganti sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan. Mungkin ini berkah dari sedekah tadi pagi yang Ayah berikan…”

oleh Saad Saefullah

Kisah Sahabat

Kisah sahabat

Berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, saya dipertemukan dengan hamba-Nya yang satu ini. Beliau adalah seorang leader yang selalu mengayomi, memberikan bimbingan, semangat, inspirasi, ide dan gagasan segar. Beliau seorang pemimpin yang mampu menggerakkan ratusan hingga ribuan anak buahnya. Beliau seorang guru yang memiliki lautan ilmu, yang selalu siap ditimba oleh anak-anaknya dan bagai tiada pernah habis.
Saat ini beliau memiliki berbagai macam bidang usaha, di antaranya sebagai supplier dan distribusi alat dan produk kesehatan, puluhan hektar tambak, puluhan hektar ladang, berpuluh rumah kos, ruko, stand penjualan di mall, apartemen dan lain-lain. Pernah saya mencoba menghitung, penghasilan beliau bisa mencapai Rp 1 Milyar per bulannya. Sebuah pencapaian luar biasa bagi saya dan kebanyakan orang lain.

Pertemuan antara saya dan beliau yang saya ceritakan di bawah ini terjadi beberapa tahun yang lalu, di saat penghasilan beliau masih berkisar Rp 200 juta per bulan. Bagi saya, angka ini pun sudah bukan main dahsyatnya. Sengaja saya tidak menyebutkan namanya, karena cerita ini saya publish belum mendapatkan ijin dari beliau. Kita ambil wisdomnya saja ya.

Suatu hari, terjadilah dialog antara saya dengan beliau di serambi sebuah hotel di Bandung. Saya ingat, beliau berpesan bahwa beliau senang ditanya. Kalau ditanya, maka akan dijelaskan panjang lebar. Tapi kalau kita diam, maka beliau pun akan "tidur". Jadilah saya berpikir untuk selalu mengajaknya ngobrol. Bertanya apa saja yang bisa saya tanyakan.

Sampai akhirnya saya bertanya secara asal, "Pak, Anda saat ini kan bisa dibilang sukses. Paling tidak, lebih sukses daripada orang lain. Lalu menurut Anda, apa yang menjadi rahasia kesuksesan Anda?"

Tak dinyana beliau menjawab pertanyaan ini dengan serius.

"Ada empat hal yang harus Anda perhatikan," begitu beliau memulai penjelasannya.

RAHASIA PERTAMA

"Pertama. Jangan lupakan orang tuamu, khususnya ibumu. Karena ibu adalah orang yang melahirkan kita ke muka bumi ini. Mulai dari mengandung 9 bulan lebih, itu sangat berat. Ibu melahirkan kita dengan susah payah, sakit sekali, nyawa taruhannya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ibu bagaikan pengeran katon (Tuhan yang kelihatan).

Banyak orang sekarang yang salah. Para guru dan kyai dicium tangannya, sementara kepada ibunya tidak pernah. Para guru dan kyai dipuja dan dielukan, diberi sumbangan materi jutaan rupiah, dibuatkan rumah; namun ibunya sendiri di rumah dibiarkan atau diberi materi tapi sedikit sekali. Banyak orang yang memberangkatkan haji guru atau kyainya, padahal ibunya sendiri belum dihajikan. Itu terbalik.

Pesan Nabi : Ibumu, ibumu, ibumu... baru kemudian ayahmu dan gurumu.
Ridho Allah tergantung pada ridho kedua orang tua. Kumpulkan seribu ulama untuk berdoa. Maka doa ibumu jauh lebih mustajabah." Beliau mengambil napas sejenak.

RAHASIA KEDUA

"Kemudian yang kedua," beliau melanjutkan. "Banyaklah memberi. Banyaklah bersedekah. Allah berjanji membalas setiap uang yang kita keluarkan itu dengan berlipat ganda. Sedekah mampu mengalahkan angin. Sedekah bisa mengalahkan besi. Sedekah membersihkan harta dan hati kita. Sedekah melepaskan kita dari marabahaya. Allah mungkin membalas sedekah kita dengan rejeki yang banyak, kesehatan, terhindarkan kita dari bahaya, keluarga yang baik, ilmu, kesempatan, dan lain-lain.

Jangan sepelekan bila ada pengemis datang meminta-minta kepadamu. Karena saat itulah sebenarnya Anda dibukakan pintu rejeki. Beri pengemis itu dengan pemberian yang baik dan sikap yang baik. Kalau punya uang kertas, lebih baik memberinya dengan uang kertas, bukan uang logam. Pilihkan lembar uang kertas yang masih bagus, bukan yang sudah lecek. Pegang dengan dua tangan, lalu ulurkan dengan sikap hormat kalau perlu sambil menunduk (menghormat). Pengemis yang Anda beri dengan cara seperti itu, akan terketuk hatinya, 'Belum pernah ada orang yang memberi dan menghargaiku seperti ini.' Maka terucap atau tidak, dia akan mendoakan Anda dengan kelimpahan rejeki, kesehatan dan kebahagiaan.

Banyak orang yang keliru dengan menolak pengemis yang mendatanginya, bahkan ada pula yang menghardiknya. Perbuatan itu sama saja dengan menutup pintu rejekinya sendiri.

Dalam kesempatan lain, ketika saya berjalan-jalan dengan beliau, beliau jelas mempraktekkan apa yang diucapkannya itu. Memberi pengemis dengan selembar uang ribuan yang masih bagus dan memberikannya dengan dua tangan sambil sedikit membungkuk hormat. Saya lihat pengemis itu memang berbinar dan betapa berterima kasihnya.

RAHASIA KETIGA

"Allah berjanji memberikan rejeki kepada kita dari jalan yang tidak disangka-sangka," begitu beliau mengawali penjelasannya untuk rahasia ketiganya. "Tapi sedikit orang yang tahu, bagaimana caranya supaya itu cepat terjadi? Kebanyakan orang hanya menunggu. Padahal itu ada jalannya."

"Benar di Al Quran ada satu ayat yang kira-kira artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya diadakan-Nya jalan keluar baginya dan memberinya rejeki dari jalan/pintu yang tidak diduga-duga", saya menimpali (QS Ath Thalaq 2-3).

"Nah, ingin tahu caranya bagaimana agar kita mendapatkan rejeki yang tidak diduga-duga?," tanya beliau.

"Ya, bagaimana caranya?" jawab saya. Saya pikir cukup dengan bertaqwa, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka Allah akan mengirim rejeki itu datang untuk kita.

"Banyaklah menolong orang. Kalau ada orang yang butuh pertolongan, kalau ketemu orang yang kesulitan, langsung Anda bantu!" jawaban beliau ini membuat saya berpikir keras. "Saat seperti itulah, Anda menjadi rejeki yang tidak disangka-sangka bagi orang itu. Maka tentu balasannya adalah Allah akan memberikan kepadamu rejeki yang tidak disangka-sangka pula."

"Walau pun itu orang kaya?" tanya saya.

"Ya, walau itu orang kaya, suatu saat dia pun butuh bantuan. Mungkin dompetnya hilang, mungkin ban mobilnya bocor, atau apa saja. Maka jika Anda temui itu dan Anda bisa menolongnya, segera bantulah."

"Walau itu orang yang berpura-pura? Sekarang kan banyak orang jalan kaki, datang ke rumah kita, pura-pura minta sumbangan rumah ibadah, atau pura-pura belum makan, tapi ternyata cuma bohongan. Sumbangan yang katanya untuk rumah ibadah, sebenarnya dia makan sendiri," saya bertanya lagi.

"Ya walau orang itu cuma berpura-pura seperti itu," jawab beliau. "Kalau Anda tanya, sebenarnya dia pun tidak suka melakukan kebohongan itu. Dia itu sudah frustasi karena tidak bisa bekerja atau tidak punya pekerjaan yang benar. Dia itu butuh makan, namun sudah buntu pikirannya. Akhirnya itulah yang bisa dia lakukan. Soal itu nanti, serahkan pada Allah. Allah yang menghakimi perbuatannya, dan Allah yang membalas niat dan pemberian Anda."

RAHASIA KEEMPAT

Wah, makin menarik, nih. Saya manggut-manggut. Sebenarnya saya tidak menyangka kalau pertanyaan asal-asalan saya tadi berbuah jawaban yang begitu serius dan panjang. Sekarang tinggal satu rahasia lagi, dari empat rahasia seperti yang dikatakan beliau sebelumnya.

"Yang keempat nih, Mas," beliau memulai. "Jangan mempermainkan wanita".

Hm... ini membuat saya berpikir keras. Apa maksudnya. Apakah kita membuat janji dengan teman wanita, lalu tidak kita tepati? Atau jangan biarkan wanita menunggu? Seperti di film-film saja.

"Maksudnya begini. Anda kan punya istri, atau suami. Itu adalah pasangan hidup Anda, baik di saat susah maupun senang. Ketika Anda pergi meninggalkan rumah untuk mencari nafkah, dia di rumah menunggu dan berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan Anda. Dia ikut besama Anda di kala Anda susah, penghasilan yang pas-pasan, makan dan pakaian seadanya, dia mendampingi Anda dan mendukung segala usaha Anda untuk berhasil."

"Lalu?" saya tak sabar untuk tahu kelanjutan maksudnya.

"Banyak orang yang kemudian ketika sukses, uangnya banyak, punya jabatan, lalu menikah lagi. Atau mulai bermain wanita (atau bermain pria, bagi yang perempuan). Baik menikah lagi secara terang-terangan, apalagi diam-diam, itu menyakiti hati pasangan hidup Anda. Ingat, pasangan hidup yang dulu mendampingi Anda di kala susah, mendukung dan berdoa untuk kesuksesan Anda. Namun ketika Anda mendapatkan sukses itu, Anda meninggalkannya. Atau Anda menduakannya."

Oh... pelajaran monogami nih, pikir saya dalam hati.

"Banyak orang yang lupa hal itu. Begitu sudah jadi orang besar, uangnya banyak, lalu cari istri lagi. Menikah lagi. Rumah tangganya jadi kacau. Ketika merasa ditinggalkan, pasangan hidupnya menjadi tidak rela. Akhirnya uangnya habis untuk biaya sana-sini. Banyak orang yang jatuh karena hal seperti ini. Dia lupa bahwa pasangan hidupnya itu sebenarnya ikut punya andil dalam kesuksesan dirinya," beliau melanjutkan.

Hal ini saya buktikan sendiri, setiap saya datang ke rumahnya yang di Waru Sidoarjo, saya menjumpai beliau punya 1 istri, 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.

Perbincangan ini ditutup ketika kemudian ada tamu yang datang....

oleh: Probo Jatmiko

Perempuan Misterius Bagikan Duit di Pasar Senen

Perempuan Misterius Bagikan Duit di Pasar Senen

Bak mimpi di siang bolong, beberapa pedagang Pasar Senen, Jakarta Pusat, menerima sejumlah uang dari seorang perempuan misterius. Lebih mengejutkan lagi, jumlah yang diterima tidak sedikit, mencapai ratusan ribu rupiah.

Entah mimpi apa Aryo (28) malam itu. Tiga bulan menjelang bulan puasa, seorang perempuan kisaran usia 30 tahunan tiba-tiba saja memberikan sejumlah uang kepadanya. Jumlahnya Rp 400 ribu.
"Perempuan itu pakai kerudung, enggak tahu kenapa tiba-tiba saya dikasih uang Rp 400 ribu," kisah pedagang seprei Pasar Senen itu.

Ia pun mengaku terkejut dengan pemberian tersebut. Bukan saja jumlah uang yang setara dengan penghasilannya berdagang seprei sehari. Namun, ia terkejut karena tidak mengenal sama sekali sosok perempuan tersebut.

Saat memberikan uang tersebut, tuturnya, perempuan misterius hanya memintanya mengambil pemberian tersebut. "Ngelihat duit segitu, ya saya ambil saja," katanya.

Leni, pedagang nasi di lantai 3 Pasar Senen juga menyaksikan sosok perempuan yang dikisahkan Aryo. Perempuan itu, kata Leni, kerap berkeliling di lantai 3 untuk membagi-bagikan uang.

"Saya enggak tahu kalau di sini ada yang terima, yang jelas dia bawa duit
kayaknya banyak banget, gepokan seratus ribuan," ujarnya.

Apakah ini sebuah kampanye politik...? Sepertinya tidak. Bahkan banyak yang mengatakan bahwa tidak ada yang mengenal dengan perempuan tersebut.
Aaah...alangkah indahnya jika semua pejabat negeri ini...bisa memberikan sedikit kekayaannya kepada rakyat...tanpa imbalan politik apapun...betul-betul ikhlash hanya ingin mendapat ridho dan pahala dari Allah swt......semoga aja.

Membuktikan Dahsyatnya Sedekah

Membuktikan Dahsyatnya Sedekah

’Bagaimana ya Pak, dagangan saya sepi. Belum bisa bayaran sekolah,’’ seorang
perempuan wali murid beberapa hari lalu mengadu ke Daru Sulistyo, Kepala
Sekolah Sekolah Menengah kejuruan (SMK) BPS&K Bekasi, Jawa Barat.
Sudah tiga bulan terakhir anaknya nunggak bayaran, hingga ia menghadap
kepala sekolah untuk minta keringanan.
’Ya, sudah, Ibu usaha dulu, saya kasih tahu caranya,’’ kata Daru sambil menyodorkan sebuah buku bersampul merah maron berjudul Dahsyatnya Sedekah. ‘’Ibu baca kisah-kisah di buku ini, lalu coba ikuti, insya Allah nanti dapat jalan keluar. Tapi nanti kalau sudah selesai kembalikan lagi bukunya ya, soalnya ini pemberian adik saya,’’ tutur Daru, warga Perumahan PAM Jatibening. Meski tampak ragu, perempuan tersebut menurut. ‘’Baik Pak, nanti saya coba.

Terima kasih,’’ katanya lantas berpamitan. Dua pekan kemudian, si ibu datang lagi ke ruangan Kepsek SMK BPS&K Bekasi. Kali ini, wajahnya sumringah, tidak kusut seperti dulu. Begitu duduk di hadapan Daru Sulistyo, ia langsung bercerita
heboh. ‘’Alhamdulillah, Pak, bener. Dagangan saya laris sejak saya ikuti
cerita di buku Bapak. Setiap dagang, biarpun sedikit, saya sisihkan
hasilnya untuk sedekah. Nih, saya mau bayar sekolah anak saya,’’ kata si
ibu dengan lagak gaya. ‘’Alhamdulillah, saya turut senang, Bu. Semoga
Ibu tetap rajin bersedekah sehingga usahanya maju lancar,’’ ucap Daru
sambil tersenyum. Ia turut bahagia, biasa membahagiakan keluarga muridnya yang tadinya kesusahan.

Daru sendiri juga sudah membuktikan buku Dahsyatnya Sedekah terbitan PPPA Daarul Qur’an yang sudah tamat dibacanya. Ketika Reza Arfirstyo, anak
pertamanya, diterima di SMA XVI Bekasi yang termasuk sekolah unggul,
Daru berjanji kalau ada rejeki akan membelikannya sepeda motor Revo buat
sekolah. Ketika ada uang buat membayar DP (uang muka) Revo kreditan,
Reza justru lebih perlu untuk membayar kursus bimbingan belajar. Gagal
lah rencana mengambil motor kredit. Teringat pada kisah dalam Dahsyatnya
Sedekah, Daru berunding dengan istrinya, Farida Ariawati, untuk
menyedekahkan motor lama yang biasa mereka pakai. ‘’Keponakan kita yang
yatim, butuh motor untuk tranportasi sekolah.

Bagaimana kalau motor kita sedekahkan buat dia,’’ kata Daru, yang disetujui sang istri. Tak terlukiskan bahagianya keponakan, mendapat motor matic yang sesuai dengan impiannya.Apalagi motor itu masih terawat apik, meskipun
usianya sudah cukup lama. Tak sampai sebulan kemudian, Daru mendapat
telepon dari petugas Bank DKI. ‘’Selamat ya Pak, nomor tabungan Bapak
menang undian berhadiah sepeda motor.

Silakan besok datang ke kantor kami,’’ kata si penelepon sambil memberikan alamat kantor cabang bank dan person yang harus ditemui di sana. Untuk make sure, Daru rembugan dengan istrinya. ‘’Kalau dia menyuruh datang dan menemui seseorang, kayaknya benar, Yah. Tapi kalau dia minta transfer uang ini,itu, nah baru penipuan,’’ kata Ny Farida kepada suaminya. Esoknya, Daru
datang ke kantor bank DKI dan menemui orang dimaksud. Ternyata benar,
Daru memang mendapat hadiah sebuah sepeda motor.

‘’Padahal, tabungan saya tidak banyak-banyak amat,’’ katanya senang sekaligus heran. Dan yang membuat Daru sekeluarga sangat surprised, motor hadiah yang mereka terima ternyata Honda Revo. Persis seperti yang diinginkan Reza.
‘’Subhanallah, Alhamdulillah, sedekah memang tidak akan kemana-mana.
Pasti balik ke kita lagi dengan yang lebih baik,’’ Daru berucap syukur.

(aya hasna)

Disaat menjadi Miskin dan disaat menjadi Cukup

Disaat menjadi Miskin dan disaat menjadi Cukup

Ini ada sedikit cerita dari sahabat
Saat aku masih kecil kami dijuluki orang miskin dikampung tapi menurutku aku bukan miskin tapi sangat miskin.... karena untuk makan saja hari itu kita harus mencari dan itu pun kadang 0,5 kg beras untuk kami sekeluarga... maka jadilah bubur menado... kata orang sekarang, dimasa itu.... tetangga kami sangatlah kaya... mungkin semua tau ..klo di kampung itu orang miskin hanyalah menjadi bahan ejekan, bahan tertawaan, bahan gunjingan... dan lain2...
kami hanya bisa melihat orang panen yang begitu banyak tapi tidak sedikitpun terciprat kepada kami, kami sering melihat orang berkorban tapi hanya baunya saja yang sampai kepada kami, kami pun tidak berharap banyak... pernah sebelah rumah itu ada pesta.. membuat makanan yang enak2 tpi sedikitpun datang makanan kepada kami itu pun tidak..

Saat itu kami betul2 merasa di kucilkan dan seolah mereka jijik terhadap orang miskin.... hingga waktu berlalu 20 tahun sudah roda hidup berputar.... dan kehidupan berputar sekarang... kehidupan kami Alhamdullilah cukup, mau makan cukup, mau kesana cukup... mau kemana cukup mau apapun cukup....dan Alhamdulillah aku berusaha untuk tidak menjadi tetanggaku yang dulu di kampung yang melihat tetangga miskin tidak peduli, yang melihat orang miskin selalu mengejek seolah kita pantas di perlakukan seperti itu, Aku selalu Teringat dengan Surah Arrohmman

aku berusaha peduli dengan lingkungan dan orang2 miskin di sekitarku... aku selalu teringat andai... saat itu tetanggaku panen mereka memberi sedekah atau sedikit zakat betapa bahagianya kami...disaat mereka berkorban datang se ons daging kepada kami..betapa bahagianya kami.... dan betapa bahagianya saat mereka berpesta datang sepiring hidangan yang lezat kepada kami
ah... Andai... Andai... itulah yang kurasakan saat ini... hingga itu membuat air mata ini menetes... kemiskinan itu bukan kehendak tapi itu takdir, kita harus ikhlas...dalam menjalani semuanya..ikhlas,

Jadi sahabat jika engkau diberi kecukupan.... berzakatlah dan bersedekahlah... sesungguhnya bagi orang miskin sedekah dan zakat kalian adalah suatu kebahagiaan bagi mereka dan sesungguhnya zakat dan sedekah tidak akan membuat kalian miskin tapi akan menambah kelapangan rizki bagi kalian dan Allah akan membuka pintu2 rahmatNya... yakinlah.....

Kisah Sedekah yang Menyentuh Hati

Kisah Sedekah yang Menyentuh Hati


Kisah Sedekah yang Menyentuh Hati

Kisah di bawah ini adalah kisah yang didapat dari milis alumni Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana . Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.
Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.

Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling." Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah. Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi kerestoran McDonald's yang berada di sekitar kampus.

Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" kearah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' ditempat itu.Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.

Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai didepan counter. Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu-tamu lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka.. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya. Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua." Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya."

Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian." Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu. Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.

Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-anakku! " Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur dan menyadari,bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan. Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami.

Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami." Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikkan tangannya kearah kami.

Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar-benar 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali! Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini ditangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan.

Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang didekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya ."Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."

Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT." Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA! Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskan cerita ini kepada orang-orang terdekat anda. Disini ada 'malaikat' yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!

Sedekah Seorang Mantan Supplier Ayam

Sedekah Seorang Mantan Supplier Ayam

“Gila!” Begitu cibiran yang hampir tiap hari menyengat telinga Dani Hermawan. Cibiran sadis tersebut diterimanya, setelah ia mengambil keputusan drastis yang sangat tidak masuk akal bagi rasio awam.

Bagaimana tidak. Dani hanyalah seorang pekerja serabutan. Ia tinggal di rumah kontrakan di Bogor bersama seorang anak dan istri yang tengah mengandung anak kedua. Untuk makan sehari-haripun, Dani sekeluarga sangat terbantu oleh kebaikan mertuanya.
Nah, dalam kondisi begitu, Dani malah menguras isi kontrakannya. Bukannya untuk dijual buat makan dan beli susu anaknya, tapi justru disedekahkan.

Pencerahan sedekah Dani dapatkan, setelah nyawanya hampir melayang di ujung putus asa.
Semula, Dani Hermawan seorang supplier ayam yang cukup berjaya. Peternakannya luas, ayamnya ribuan. Mobil pengangkut ayam tiap hari keluar-masuk kandangnya. Uang setoran pun mengalir deras ke kantongnya.

Sampai kemudian, wabah flu burung menyerang. Puluhan demi puluhan ayam negeri Dani mati, sampai akhirnya ludes tak tersisa. Dani Hermawan bangkrut pada tahun 2007.

Tragisnya, hampir tidak ada sisa masa kejayaan usaha Dani. Uang yang melimpah justru membuatnya lalai untuk menyiagakan masa depan keluarga. Bahkan rumah pun mereka tak sempat punya. “Saya lalai, saya lalai,” kenang Dani sambil terisak.

Bersamaan dengan itu, Nia Kurniawati istrinya pun di-PHK dari tempat kerjanya.
Untuk melanjutkan hidup sekeluarga, Dani lalu kerja serabutan sambil “mantab” (makan tabungan) yang sedikit tersisa. Beruntung dia memiliki mertua yang baik, sehingga kebutuhan dapurnya kemudian tertalangi. Walaupun, sebagai kepala keluarga yang pernah jaya, pria ini sungguh tak enak hati hidup dalam naungan mertua.

Perasaan bersalah, malu, sekaligus khawatir, menumpuk di dada, membuat Dani Hermawan stress. Apalagi anak mereka yang kedua jelang lahir. Duit dari mana buat biayanya? Uang dari mana untuk membeli susunya? Lalu buat sekolahnya nanti bagiamana?

Masya Allah, tak kuasa menahan stress, bisikan setan pun diikutinya. Satu malam, Dani ngeloyor ke rel kereta api tak jauh dari rumahnya. Sampai di sana, dia lalu nekad membaringkan diri menyilangi salah satu rel.

Ketika kupingnya menangkap deru kereta Jabotabek dari arah Jakarta, Dani segera memejamkan mata rapat-rapat. “Sebentar lagi penderitaanku akan berakhir,” batinnya, walau dibarengi rasa takut.

Wes ewes ewes, bablas keretanya. “Lho, aku kok masih hidup,” Dani kaget ketika membuka mata. Olala, ternyata kereta api lewat melalui rel satunya.

Dani lalu memejamkan mata lagi, berharap kereta berikutnya segera lewat dan melindas tubuhnya.
Tapi, tunggu punya tunggu, si kereta tak datang jua. Sementara, Dani harus bersilat melawan gerombolan nyamuk yang mengerubutinya. Plak, plok, plaak.

Tak tahan dingin dan nyamuk, akhirnya Dani urung bunuh diri. Dengan langkah lunglai, pulang dia ke kontrakannya.

Suatu malam berikutnya, giliran bisikan malaikat yang dia ikuti. Saat iseng menyetel TV Banten, tiba-tiba Dani terpaku pada taushiyah Ustadz Yusuf Mansur. Sang Ustadz tengah menguraikan sedekah sebagai solusi problema kehidupan.

“Sedekah akan cepat bunyi bila ditunaikan dalam keadaan kita kepepet, lagi butuh, atau sangat menyayangi harta yang akan kita sedekahkan,” kata Ustadz, yang menancap betul di benak Dani.
Besoknya, dengan getol Dani mulai memburu dan melahap taushiyah Ustadz melalui radio dan televisi, juga VCD.

Melihat hobby baru suaminya, semula Nia sinis. “Aa’, yang pasti-pasti aja deh. Uang itu ya didapat dari kerja, bukan sedekah,” kata Nia yang waktu itu masih belum berbusana muslimah.
“O iya, ini juga pasti Dik. Tinggal kita yakin apa enggak,” Dani mencoba sabar. Ia maklum, dalam kondisi seperti ini istrinya jadi sensi.

Namun satu sore, Dani memergoki istrinya tengah menyimak VCD The Miracle. Tampak Nia manggut-manggut, merasa mendapat pencerahan.

“Iya ya A’, kita sedekahkan yang kita punya yuk,” katanya, disambut senyum Dani.
Tak tega rasanya Darmawan Setiadi, saat menjemput sedekah Dani di kontrakannya. Di bawah tatapan melompong putri Dani, Darmawan dan tim PPPA Daarul Qur’an mengangkut kulkas, televisi, tape, sampai ke handphone satu-satunya milik tuan rumah. Semua barang itu bakal dijual di PPPA Shop, hasilnya untuk membiayai program pembibitan penghafal Qur’an.

“Mas Dani, bagaimana kalau hape-nya tidak usah ikut disedekahkan. Mas Dani kan sangat memerlukannya,” bisik Darmawan kepada Dani.

“Oh, tidak Mas. Saya memang sudah meniatkan untuk disedekahkan bersama barang-barang lainnya. Doakan saja agar Allah memberi balasan yang terbaik buat kami,” jawab Dani mantap. Apa boleh buat. Sambil menahan tangis haru, Darmawan membawa semua barang sedekahan Dani. Tak ayal, kontrakan Dani langsung kosong melompong. Yang tersisa hanyalah almari kayu tua yang sudah tidak layak untuk disedekahkan sekalipun.

Almari itu bagian tengahnya bolong, tadinya untuk wadah TV. Setelah TV-nya diangkut, Az Zahra anak sulung Dani nyeletuk, “Yah, sekarang kita nonton tipinya bohong-bohongan ya?”
Dani menjawab dengan mengusap sayang kepala putranya. “Tenang, Nak, Allah Maha Kaya dan Maha Mengetahui,” katanya, ditingkahi senyum tulus sang istri.

Setelah itu, Dani dan Nia Kurniawati, menggetolkan riyadhoh. Mereka dawamkan amalan wajib, ditambah amalan sunnah Nabi seperti sholat tahajjaud, dhuha, dan puasa Senin-Kamis.

Saking rindunya pada Rasulullah SAW, Dani bahkan mulai membiasakan diri mengenakan baju gamis. Namun, mantan pengusaha peternakan ayam yang kini hobby-nya ke masjid itu, malah disalahpahami. Bahkan sebagian orang menganggapnya kurang waras.

“Dik, mengapa mereka tega mengataiku gila. Apakah orang tidak boleh berubah jadi baik,” keluh Dani Hermawan pada istrinya. “Sabarlah A’, insya Allah, Allah akan menunjukkan jalan,” Nia menghibur suaminya.

Kabar tentang “keanehan” Dani, rupanya sampai juga ke seorang pengusaha yang masih tetangganya. Suatu malam, Dani dipanggil ke rumah si pengusaha. Setelah menyimak kisah singkat perjalanan hidup Dani, pengusaha itu berkata, “Hobby-mu apa Dan?”
“Badminton, Pak, tapi belakangan ini sudah jarang main lagi,” Dani tersenyum.
“Ya sudah, nanti kapan-kapan kita ketemu lagi.”
Saat dipanggil kembali, Dani kaget bukan kepalang. Pengusaha tersebut menjadikannya manajer Gedung Olah Raga (GOR) badminton di Jalan Soleh Iskandar, Bogor.

Selain menyewakan gedung badminton, Dani Hermawan juga mengajar kelas bulu tangkis. Dia pun melayani les privat olahraga yang sama. Ini menjadi kekuatan GOR yang dikelolanya.
“Awalnya, hanya satu klub yang menjadi pelanggan kami. Sekarang alhamdulillah, sampai harus antri kalau mau makai GOR kami,” kata Dani.

Kini, kehidupan Dani Hermawan dan istrinya bersama kedua buah hati mereka, Azzahra Putri Dani dan Juaneta Putri Dania, jauh lebih baik. Tanpa dipaksa sang suami, Nia Kurniawati sudah berbusana muslimah. Mereka sangat mensyukuri semuanya, meskipun belum memiliki rumah sendiri.

Belajar Sedekah Dari Tukang Becak

Belajar Sedekah Dari Tukang Becak

Rekan-rekan adalah wajar manakala kita kemudian rajin bersedekah di saat berada dalam kondisi yang berlebih. Namun sebaliknya, saat kondisi benar-benar pas-pasan masih adakah keinginan untuk bersedekah itu?
Kisah ini saya dapatkan dari milis fakultas. Entah dari mana orang yang mempublish mendapatkan sumbernya. Yang jelas kita bisa banyak belajar dari Bai Fang Li.


Bai Fang Li menjalani hidup dengan sederhana sebagai tukang becak. Ia tinggal di gubuk kecil dan sederhana di daerah Tianjin, China.

Namun demikian semangatnya dalam bekerja selalu tinggi. Dengan tidak mengenal lelah Bai Fang Li pergi pagi pulang malam, mengayuh becak mencari penumpang yang bersedia menggunakan jasanya.

Saat menarik becak Bai Fang Li hampir tak pernah membeli makanan. Makanan ia dapatkan dengan cara memulung. Begitupula dengan pakaiannya.

Apakah hasil mengayuh becak tidak cukup untuk membeli makanan dan pakaian?

Jangan salah. Pendapatannya cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup sedikit lebih layak.

Namun Bai Fang Li lebih memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk menyumbang yayasan yatim piatu yang mengasuh 300-an anak tak mampu.
TERSENTUH

Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun.

Saat itu ia tak sengaja melihat seorang anak usia 6 tahunan yang sedang menawarkan jasa untuk membantu ibu-ibu mengangkat belanjaannya di pasar. Usai mengangkat barang belanjaan, ia mendapat upah dari para ibu yang tertolong jasanya.

Yang membuat Bai Fang Li heran adalah si anak memungut makanan di tempat sampah untuk makannya. Padahal ia bisa membeli makanan layak untuk mengisi perutnya.

Ketika Bai Fang Li bertanya, anak itu menjawab bahwa ia tak mau mengganggu uang hasil jerih payahnya itu untuk membeli makan.

Ia akan menggunakan uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4 tahun di gubuk tempat mereka tinggal. Anak kecil itu hidup bertiga sebagai pemulung dan orangtuanya entah di mana.

Bai Fang Li tersentuh manakala ia mengantar anak itu ke tempat tinggalnya. Setelah itu ia membawa ketiga anak itu ke yayasan yatim piatu di mana di sana ada ratusan anak yang diasuh.

Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara si anak, tak menggunakan uang hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan sehari-hari melainkan disumbangkan untuk yayasan yatim piatu tersebut.
TAK MENUNTUT APAPUN

Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya.

Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk.

Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak 500 yuan atau setara dengan Rp 675.000. Dengan uang sumbangan terakhir itu, total ia sudah menyumbang 350.000 yuan atau setara dengan Rp 472,5 juta. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya menyumbang ke yayasan tersebut. Tahun 2005, Bai Fang Li meninggal setelah terserang sakit kanker paru-paru.

Nah rekan-rekan, bagaimana menurut Anda. Masih kah kita beralasan untuk enggan bersedekah?

Apalagi saya kira kita seringkali mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini :

Makin banyak memberi makin banyak menerima.
Di sebagian rezeki yang kita terima, ada sebagian hak orang lain disana. Dll.

Kalau Anda berpikir sedekah harus dalam nominal yang besar, rasanya kurang tepat menurut saya. Saya memang bukan TUHAN, tapi mungkin saja yang DIA nilai bukan nominalnya, melainkan nilai usaha untuk bersedekah.

Katakanlah 5000. Buat sebagian dari kita, mungkin 5000 itu mudah. Tapi buat mereka yang hidup kekurangan, 5000 bisa sangat berarti. Dan bila sama-sama menyumbang nominal tersebut, masa mau disamakan?

Intinya, apapun kondisi Anda sekarang cobalah untuk bersedekah. Semampunya, seikhlasnya. Dan jangan coba-coba untuk menipu TUHAN. Mampu, pura-pura tidak mampu. DIA Maha Tahu atas segalanya.

Semoga kisah di atas bisa menginspirasi kita semua, saya khususnya, untuk lebih meringankan tangan membantu saudara-saudara kita lewat jalur sedekah.

Sedekah Orang Miskin

Sedekah Orang Miskin

Mudah-mudahan bisa menambah inspirasi dan muhasabah kita semua di hari yang mulia ini, dan merupakan true story dari program RCTI:

Saya menemui Ibu Ela di rumahnya, depan mesjid jami Al Hidayah di Darmaga Lonceng, Bogor. Menemuinya tidak butuh waktu lama, karena hampir semua orang di dekat mesjid itu kenal Ibu Ela. Rumahnya ada di dalam gang, sedikit di bibir sungai.Saya mengucap salam dan dijawab oleh tetangganya…
“Mas.. cari bu Ela ya…?”

“Iya… orangnya ada Bu…?” tanya saya...

“Oh.. dia lagi di sungai” kata ibu tadi

“Ngapain Bu..?” saya bertanya lagi. Mungkin sedang mencuci pakaian, pikir saya.

“Memang kerjaannya tiap hari ke sungai, mungutin sampah-sampah plastik dari botol kemasan sabun atau shampoo… bentar lagi juga pulang.” Jawab itu tadi panjang lebar.

Informasi yang saya terima ternyata benar adanya. Ibu Ela adalah wanita yang pekerjaannya memang mengumpullkan sampah plastic dari kemasan. Cuma saya tidak terbayang, bahwa untuk memperolehnya, dia harus memungut di sungai.

Tak beberapa lama, datang wanita paruh baya, kurus, rambutnya diikat ke belakang, banyak warna putihnya. Ibu Ela. Mengenakan baju bergambar salah satu calon presiden dan wakil presiden pada pemilihan presiden tahun 2004 lalu.Saya langsung menyapa.

“Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikum salam.. Ada apa ya Pak?” tanya Ibu Ela..

“Saya dari tabloid An Nuur, mendapat cerita dari seseorang untuk menemui Ibu. Kami mau wawancara sebentar, boleh Bu…?” saya menjelaskan, dan mengunakan ‘Tabloid An Nuur’ sebagai ‘penyamaran’.

“Oh.. boleh, silahkan masuk.

”Ibu Ela, masuk lewat pintu belakang.. Saya menunggu di depan. Tak beberapa lama, lampu listrik di ruang tengahnya nyala, dan pintu depan pun dibuka.

“Silahkan masuk…

”Saya masuk ke dalam ‘ruang tamu’ yang diisi oleh dua kursi kayu yang sudah reot. Tempat dudukannya busa yang sudah bolong di bagian pinggir. Rupanya Ibu Ela hanya menyalakan lampu listrik jika ada tamu saja. Kalau rumahnya ditinggalkan, listrik biasa dimatikan. Berhemat katanya.

“Sebentar ya Pak, saya ambil air minum dulu” kata Ibu Ela.

Yang dimaksud Ibu Ela dengan ambil air minum adalah menyalakan tungku dengan kayu bakar dan diatasnya ada sebuah panci yang diisi air. Ibu Ela harus memasak air dulu untuk menyediakan air minum bagi tamunya.

“Iya Bu.. ngga usah repot-repot.” Kata saya ngga enak.Kami pun mulai ngobrol, atau ‘wawancara’.

Ibu Ela ini usianya 54 tahun, pekerjaan utamanya mengumpulkan plastic dan menjualnya seharga Rp 7.000 per kilo. Ketika saya tanya aktivitasnya selain mencari plastik,

“Mengaji…” katanya“Hari apa aja Bu…?” Tanya saya

“Hari senin, selasa, rabu, kamis, sabtu…” jawabnya. Hari Jum’at dan Minggu adalah hari untuk menemani Ibu yang dirawat di rumahnya.

Oh.. jadi mengaji rupanya yang jadi aktivitas paling banyak. Ternyata dalam pengajian itu, biasanya ibu-ibu pengajian yang pasti mendapat minuman kemasan, secara sukarela dan otomatis akan mengumpulkan gelas kemasan air mineral dalam plastik dan menjadi oleh-oleh untuk Ibu Ela.

Hmm, sambil menyelam minum air rupanya. Sambil mengaji dapat plastik.

Saya tanya lagi,“Paling jauh pengajiannya dimana Bu?”

“Di dekat terminal Bubulak, ada mesjid taklim tiap Sabtu. Saya selalu hadir; ustadznya bagus sih…” kata Ibu Ela.

“Kesana naik mobil dong..?” tanya saya.

“Saya jalan kaki” kata Ibu Ela

“Kok jalan kaki…?” tanya saya penasaran..Penghasil an Ibu Ela sekitar Rp 7.000 sehari. Saya mau tahu alokasi uang itu untuk kehidupan sehari-harinya. Bingung juga bagaimana bisa hidup dengan uang Rp 7.000 sehari.

“Iya.. mas, saya jalan kaki dari dini.. Ada jalan pintas, walaupun harus lewat sawah dan jalan kecil. Kalau saya jalan kaki, khan saya punya sisa uang Rp 2.000 yang harusnya buat ongkos, nah itu saya sisihkan untuk sedekah ke ustadz…”
Ibu Ela menjelaskan.

“Maksudnya, uang Rp 2.000 itu Ibu kasih ke pak Ustadz?”

Saya melongo. Khan Ibu ngga punya uang, gumam saya dalam hati.

“Iya, yang Rp 2.000 saya kasih ke Pak Ustadz… buat sedekah.” Kata Ibu Ela, datar.

“Kenapa Bu, kok dikasihin?” saya masih bengong.

“Soalnya, kalau saya sedekahkan, uang Rp 2.000 itu udah pasti milik saya di akherat, dicatet sama Allah…. Kalau uang sisa yang saya miliki bisa aja rezeki orang lain, mungkin rezeki tukang beras, tukang gula, tukang minyak tanah….” Ibu Ela menjelaskan, kedengarannya jadi seperti pakar pengelolaan keuangan keluarga yang hebat.

Dzig! Saya seperti ditonjok Cris John. Telak!Ada rambut yang serempak berdiri di tengkuk dan tangan saya. Saya Merinding!

Ibu Ela tidak tahu kalau dia berhadapan dengan saya, seorang sarjana ekonomi yang seumur-umur belum pernah menemukan teori pengelolaan keuangan seperti itu.Jadi, Ibu Ela menyisihkan uangnya, Rp 2.000 dari Rp 7.000 sehari untuk disedekahkan kepada sebuah majlis karena berpikiran bahwa itulah yang akan menjadi haknya di akherat kelak?‘Wawancara’ yang sebenarnya jadi-jadian itu pun segera berakhir. Saya pamit dan menyampaikan bahwa kalau sudah dimuat, saya akan menemui Ibu Ela kembali, mungkin minggu depan.

Saya sebenarnya on mission, mencari orang-orang seperti Ibu Ela yang cerita hidupnya bisa membuat ‘merinding’..Saya sudah menemukan kekuatan dibalik kesederhanaan. Keteguhan yang menghasilkan kesabaran. Ibu Ela terpilih untuk mendapatkan sesuatu yang istimewa dan tak terduga.

Minggu depannya, saya datang kembali ke Ibu Ela, kali ini bersama dengan kru televisi dan seorang presenter kondang yang mengenakan tuxedo, topi tinggi, wajahnya dihiasai janggut palsu, mengenakan kaca mata hitam dan selalu membawa tongkat. Namanya Mr. EM (Easy Money)Kru yang bersama saya adalah kru Uang Kaget, program di RCTI yang telah memilih Ibu Ela sebagai ‘bintang’ di salah satu episode yang menurut saya salah satu yang terbaik. Saya mengetahuinya, karena dibalik kacamata hitamnya, Mr. EM seringkali tidak kuasa menahan air mata yang membuat matanya berkaca-kaca. Tidak terlihat di televisi, tapi saya merasakannya. Ibu Ela mendapatkan ganti Rp 2.000 yang disedekahkannya dengan Rp 10 juta dari uang kaget. Entah berapa yang Allah ganti di akherat kelak.

Ibu Ela membeli beras, kulkas, makanan, dll untuk melengkapi rumahnya. Entah apa yang dibelikan Allah untuk rumah indahnya di akherat kelak...

Sedekah “Menyelamatkan” Saya

Mantan Komisaris dan Direktur Utama PT. Steady Safe Tbk : Sedekah “Menyelamatkan” Saya

Dengan langkah gontai dan lemas, Mulayadi keluar dari sebuah bank yang terletak di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat, Jumat sore di bulan September 2006. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Pihak bank memintanya untuk kooperatif, karena Senin atau Selasa, kantor pelelangan akan menyita seluruh asetnya.
“Jumat itu, saya diminta pihak bank untuk segera kooperatif atas kedatangan kantor pelelangan bahwa Senin atau Selasa akan datang untuk menyita asset saya. Kantor pelelangan tersebut akan mencoba menyelesaikan masalah saya dengan konsep dilelang.” tutur Mulyadi mengawali kisahnya kepada Republika akhir pekan lalu.

Selain bekerja disuatu perusahaan, suami dari Nurasiah Jamil ini membuka usaha sendiri. Posisi terakhir yand dijabatnya adalah Direktur Utama PT.Zebra Nusantara Tbk, perusahaan transportasi terbesar di kota Surabaya. “dari kesulitan-kesulitan makro berimbas kepada kesulitan termasuk perusahaan yang saya kelola. Akumulasi kesulitan itu berakibat terhadap terancamnya aset-aset yang saya miliki,” ujarnya. Nilai aset itu hampir 2 miliar, dan akumulasi utang hampir Rp. 3 miliar.

Dan, untuk kali pertama dalam hidupnya, pria kelahiran Bogor 2 November 1970 yang pernah menjabat Direktur Utama PT.Steady Safe Tbk ini menggunakan kendaraan umum untuk mengantarkannya ke tempat tujuan. Jujur saja, selama ini Mulyadi kemanapun selalu menggunakan sopir. “Akhirnya saya naik Busway karena itu kendaraan yang saya lihat berlalu lalang. Pertama kali saya naik bis ya itu dari depan hotel Mandarin menuju Al Azhar. Saya sholat Maghrib di situ saya lihat dan mendengar publikasi dari pengurus masjid tentang adanya tausiyah.”

Ia pun beriktikaf di Masjid Agung Al Azhar hingga waktu Isya tiba. Setelah Shalat Isya berjamaah Mulayadi mengikuti pengajian yang malam itu menampilkan da’i muda Ustadz Yusuf Mansur sebagai penceramah. “Saya terkejut, ketika dalam tausiyah mengatakan,”Mungkin diantara jamaah yang hadir di sini adalah orang yang tidak sama sekali berniat untuk datang ke Al Azhar bahkan mendengarkan tausiyah dari saya. Tapi, jamaah tersebut saat ini sedang dilanda kesulitan yang luar biasa”, ungkap Mulyadi menirukan.

Intinya, sang Ustadz mengatakan bagaimana cara mengatasi kesulitan dan mengharapkan pertolongan Allah. Caranya adalah dengan bersedekah. dan lebih utama adalah benda yang paling dicintainya. Tanpa pikir panjang, Mulyadi pun mengikhlaskan jam tangan merek Bulgari yang melingkar di tangannya seharga 3.000 dolar AS untuk disedekahkan. “Waktu itu, yang paling berharga hanya jam tangan karena di dompet hanya ada uang Rp. 110 ribu. ATM saldonya sudah sangat minimum, Kartu kredit sudah over limit. Waktu itu saya pikir kalau saya sedekahkan Rp. 100 ribu uang saya tinggal Rp. 10 ribu.” Sejenak ada rasa berat. Jam tangan itu memang tipe jam yang diidam-idamkannya dari dulu. Namun ia segera menepisnya. Saat dilelang. Jam itu dibeli seorang jamaah seharga Rp.200 ribu. Ia merasa enteng sepulang dari masjid. Ia mengaku berada di puncak kepasrahan tertinggi selama hidupnya. Ia siap untuk menerima keputusan apapun, termasuk hilangnya semua aset yang dimilikinya.

Tak lama kemudian, teleponnya berdering. jauh sebelum krisis mendera dirinya, ia pernah mengajukan sebuah proposal proyek kepada sebuah lembaga. Suara telpon diseberang sana menanyakan proposalnya dulu, apakah berniat untuk meneruskan atau tidak. “Allah menggerakan hatinya untuk mengakomodasi proposal saya,” kisahnya penuh suka cita.
Senin, hanya berselang dua hari setelah mensedekahkan jam Bulgarinya, Mulyadi diminta datang ke kantor rekannya bersamaan dengan rencana eksekusi lelang. Mereka sepakat bekerja sama.

Tak sempat seminggu, ia sudah meneken surat perjanjian kerja sama. Uang muka honorarium segera dikirim ke rekening. begiru kata mereka. Di hari batas terakhir ia harus melunasi hutangnya, ia pergi ke bank. “Subhanallah, sudah ada jumlah uang yang sangat-sangat cukup untuk menyelesaikan semua kwajiban saya,” ia berkisah dengan mata berbinar.
Ia tak akan pernah melupakan kisah itu.”Inilah pengalaman batin yang paling berkesan sepanjang hidup saya. Apa yang kita sangka, tak selalu seperti itu yang Allah kehendaki.”

Ia pun teringat, boleh jadi, keajaiban itu datang karena sebelumnya ia berikhtiar, berdoa tanpa putus, ibadah puasa Senin-Kamis, Sholat Dhuha setiap hari, iktikap di masjid, dan selalu mendoakan orang tua. Mulyadi bersyukur Allah memberinya kesulitan hidup, karena itu adalah momentum untuk melihat keperkasaan Allah SWT. Allah mengintervensi kehidupan manusia selama manusia berada di jalan Allah dan menikhtiarkan sesuatu yang benar-benar mengharap ridha Allah total tidak berkehendak atau tidak tergantung selain Allah.”Jika kita bersedekah, ternyata itu yang mengundang intervensi Allah lebih cepat lagi,” tandas Mulyadi berfilosofi.

Kisah dari :
Drs H Mulyadi MMA
Tanggal Lahir : Bogor 2 November 1970
Istri : Nurasiah Jamil
Anak-anak :
Nurfajrina Sabila Putri Mulyadi
Muhammad Sultan Ramadhan Putra Mulyadi
Nursabrina Saskia Putri Mulyadi
Pendidikan :
Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpar Bandung 1995
Pascasarjana Program Magister Management Agribisnis IPB 2004
Pekerjaan :
Direktur PT Infiniti Finance 1999-2003
Komisaris PT Steady Safe Tbk 1999-2003
Direktur Utama PT Steady Safe Tbk 2000-2001
Direktur Utama PT Zebra Nusantara Tbk 2003-Juni 2006
Ketua Bidang Transfortasi dan Telekomunikasi DPP HIPPI 2004-sekarang

Karena Sedekah, Dapat Uang Kaget

Karena Sedekah, Dapat Uang Kaget

Saya seorang ayah dari seorang puteri yang manis yang saat ini berusia 4 tahun dan seorang suami dari satu orang istri, di usia saya yang ke 32 tahun saya sudah bekerja lebih dari 12 tahun diperusahaan swasta dengan bidang yang sudah saya kuasai.
Kira-kira setahun yang lalu ditiap bulannya saya selalu merasa kesulitan dengan kondisi keuangan kami sekeluarga (mungkin karena sikecil sudah masuk TK kecil dan minum susunya bertambah..) untuk memenuhi “kekurangan” tersebut saya masih -NGEband dari satu cafe kecafe yang lain alhamdulillah Allah SWT masih memberikan karuniaNya sehingga saya masih bisa memberikan susu dan makan sehari-hari untuk ke-2 orang yang amat saya cintai.

Singkat cerita, beberapa hari yang lalu saya berbincang-bincang dengan seorang sahabat yang sudah saya anggap seperti keluarga mengenai sedekah (hanya obrolan kosong 2 orang manusia yang mencoba untuk menarik perhatian Allah SWT.. ;o) ) beberapa hari kemudian saya mendapatkan joob NGEband di salah satu hotel berbintang di Jakarta dibilangan Sudirman, sejurus setelah Ngeband saya selesai, saya mendapatkan uang honor… dalam hati saya berucap “ALHAMDULILLAH YA ALLAH masih engkau berikan kemudahan rizki, paling tidak untuk 4-5 hari saya tidak bingung untuk membeli makan dan susu untuk sikecil.

Arloji di tangan saya menunjukkan jam 22.45 ketika saya akan keluar dari parkiran, saya melihat dua anak kecil meminta-minta sumbangan, spontan saya buka amplop ‘honor’ saya dan bertanya “adik-adik sudah makan atau belum??” dengan lemas mereka menjawab “belum omm..” lemas dan terharu saya mendengarnya (saya teringat anak saya…) tanpa berlama-lama lagi saya memberikan beberapa rupiah dari ‘honor’ saya, setelah menerima beberapa rupiah tersebut anak-anak tadi melonjak-lonjak kegirangan alhamdulillah, saya masih bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain, kemudian saya pulang.

Tanpa terasa sudah dua hari dan susu si kecil sudah mulai menipis, saya duduk termenung dimeja kantor kapan lagi saya dapet joob Ngebad buat beli susu, seperti disambar gledek tiba-tiba supervisor saya menyuruh saya ke divisi keuangan “aduuhh apa lagi ini? apa kerjaan saya ada yang salah?, dengan berat hati saya berangkat juga.

Ssingkat cerita, begitu mamasuki ruangan salah seorang staff disitu menyapa saya “adduuhhh kemana aja mass..? sudah 2 hari saya cariin tidak pernah ada.” saya hanya tersenyum seadanya. ‘tanda tangan disini mas!!’ katanya mati akuu!!! ada apa lagi nihhh??? saya ambil kertas itu dan saya baca.. ASTAGHFIRULLAHALADZIIMM…!!! AALLAAHHUAKKBAARR..!!! ternyata itu tanda terima uang honor yang tidak saya sangka-sangka. Dengan terharu saya menandatangani dan menerima amplop itu dan kembali ke meja kerja, saya berfikir keras ada apa ini? apakah semudah itu saya ‘berkomunikasi’ denganNYA???… pikir punya pikir tiba-tiba saya teringat dengan ‘obrolan’ saya bersama dengan sahabat.

Sujud sukur saya kepadaNYA… ALLAH maha besar… ALLAH MAHA BESAR… mungkin kalau manusia bisa lebih berempati bahwa sesungguhnya bukti kebesaran ALLAH itu bertebaran diseluruh ruang dan waktu tapi sayang kadang kita selalu terkunci dengan hal keduniawian… MASYAALLAH ampunilah hambaMU ini dengan segala kekhilafan dan semua ketidak sempurnaan… -amien ade dan keluarga terima kasih sahabat…! dan mudah-mudahan akan banyak sahabat-sahabat ku yang lain terinspirasi melakukan hal yang sama bukan nilai tapi niat didalam hati itu yang lebih penting… amien

Mendahulukan Sedekah Ke Ibu

Mendahulukan Sedekah Ke Ibu

Ibu Yeni, seorang anggota DPR mengisahkan pengalamannya mengenai sedekah yang membawa keberkahan baginya. Kejadian ini dialaminya sekitar bulan Agustus tahun 2001 yang lalu. Saat itu ia mendapat undangan seminar di Sumatra Selatan. Karena masih masa nifas dan membawa anak bungsunya yang kala itu masih berusia 35 hari, ia memutuskan membawa ibunya
Bukan main senangnya sang ibu dibawa pelesiran naik pesawat. Maklum saja, tahun 1972 waktu naik haji, ia cuma naik kapal laut. Di pesawat tak henti ibunda tercintanya menyatakan kesenangannya naik pesawat.

“Alhamdulillah... kesampaian juga Ibu naik pesawat,” syukurnya. Yeni yang duduk di sebelahnya tersenyum.

“Coba Buya (ayah) masih hidup ya... dia pasti senang naik pesawat kayak gini,” tuturnya lagi dengan mata berkaca-kaca. Yeni menoleh dan mengusap pundak ibunda tercintanya.

“Sudahlah Bu, Buya pasti sudah bahagia sekarang. Selama hidup Buya kan sangat baik, maka Allah pasti melimpahkan kebahagiaan padanya...”

“Yah...” Ibu menganguk-angguk, “Buya emang baik....” lanjutnya sendu.
Tidak lama kemudian mereka tiba di bandara dan diantar oleh panitia ke sebuah penginapan yang sederhana. Ibunya nampak sangat bahagia. Untuk menyenangkan hatinya, Yeni memesankan makanan kesukaannya.

“Dimakan, Bu...” kata Yeni. Ibunya mengangguk dan mulai makan dengan lahap.

Keesokan harinya saat Yeni ikut seminar, Ibu menjaga cucunya yang masih merah di penginapan. Seminar itu untunglah tidak begitu lama. Jeda makan siang, mereka diajak makan di sebuah restoran khas Sumatra Selatan. Konon restoran ini biasa ditongkrongi oleh para pejabat dari pusat.

Memang suasananya sangat asri, bertingkat dua, dan Subhanallah makanan yang tersaji juga terasa sangat nikmat.
“Pepes ikan dengan duriannya enak sekali, Yen...” Ibu memberikan penilaian seraya makan dengan lahap.

“Kalau di Tangerang, daerah kita durian cuma untuk Kinca teman makan ketan ya, ternyata buat pepes juga enak,” imbuhnya kemudian.
“Alhamdulillah... kita di sini jadi nambah ilmu kan, Bu?” balas Yeni tersenyum.

Selesai makan, mereka menuju penginapan lagi untuk berkemas. Ya, mereka harus kembali ke Jakarta hari itu juga. Sebelum berangkat, Yeni memeriksa sebuah bungkusan yang diberikan panitia saat seminar tadi.

“Subhanallah... bagus amat nih kain sutra?” desisnya takjub sambil menyidik bahan itu dengan teliti. Yeni bertekad akan menjahitnya setiba di Jakarta nanti.

Saking indahnya kain tersebut, di pesawatpun Yeni tak kuasa membayangkannya. Menjahitnya menjadi baju muslimah yang indah yang akan dikenakannya pada event-event tertentu. Tapi sejenak kemudian hati kecilnya berkata, “Berikan saja pada ibumu....”

“Bagaimana, ya.... bagus banget sih?” sekilas bathinnya tak rela. Rupanya syetan sedang merasuki niat baiknya.
“Sudah... kasih Ibu saja, supaya dia senang, kamu kan bisa beli nanti lagi...” hati kecilnya kembali berkata.

Sejenak Yeni merasa bimbang. Terus-terang saja, ia sangat ingin memiliki bahan itu untuk dirinya. Sudah dibayangkannya begitu manisnya ia dalam balutan baju berbahan sutra itu. Suaminya pasti memuji, anak-anaknya pasti juga bangga. Tapi...

“Ah, sudahlah biar untuk ibuku saja,” hati kecilnya memenangkan pergolakan bathin.
Maka Yeni memberikan kain sutra itu pada ibunya. Mata ibunya bersinar menerima pemberian itu. Paras bahagia yang tak bisa ditutupinya. Yeni tak menyesal memberikannya.

Sesampainya di Jakarta, Yeni kembali mengisi hari-harinya dengan seabreg aktivitas yang menunggunya. Ia sudah tak teringat lagi kain sutra indah pemberian panitia seminar di Sumatra Selatan itu. Sampai dua hari kemudian seorang temannya kembali dari Malaysia dan membawa titipan dari teman Yeni, yang orang asli Malaysia.

“Apaan ini?” Yeni mengerutkan dahinya, menatap bungkusan yang diberikan temannya itu.

“Titipan dari teman Malaysiamu, aku nggak tahu isinya, buka aja gih...”
Tanpa menunggu lama, Yeni membuka bungkusan itu dan terbelalak,”Subhanallah bagus banget....” serunya takjub. Temannya pun ternganga.

Selembar bahan sutra yang lebih halus dan lembut warnanya...
“Benar-benar Allah Maha Besar...” Yeni berbisik pelan.

Kain sutranya telah digantikan oleh Allah dengan yang lebih bagus dan manis. Yeni kemudian teringat sebuah hadits Rasulullah Saw, bahwa kebaikan yang cepat mendapatkan balasannya di dunia adalah kebaikan kita kepada orang tua....

Kecanduan Sedekah

Kecanduan Sedekah

Saya tertegun dan manggut-manggut ketika membaca sebuah artikel yang bunyinya begini : Untuk bersedekah sebenarnya gak usah nunggu ikhlas dulu, lakukan aja sesering mungkin. Bisa saja dalam 10 kali kita bersedekah yang 6 tidak ikhlas awalnya tapi masih lumayan ada 4 yang ikhlas. Dan kalo sering bersedekah lama-lama akan jadi kebiasaan sehingga nilai ikhlasnya sudah lebih banyak lagi yang pada akhirnya nanti bersedekah itu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Kalo bersedekah ada unsur riya juga lakukan aja, toh yang rugi diri kita sendiri kalo yang menerima sih masih bisa merasakan kebahagian. Lumayan masih bisa tidak merugikan orang lain. Semua kegiatan yang baik memang awalnya harus dipaksa dulu sambil jalan diharapkan kesadaran mulai muncul.

Coba simak;
Sholat itu harus khusyu, memang kalo gak khusyu trus gak usah sholat?
Puasa itu harus bisa menjaga hawa nafsu, memang kalo gak bisa menjaga hawa nafsu boleh gak puasa?

Bukannya lebih baik;
Sholat aja dulu nanti juga lama-lama Insya Allah bisa khusyu
Puasa aja dulu nanti juga lama-lama bisa terlatih menahan hawa nafsu
Sedekah aja dulu nanti juga lama-lama bakalan bisa ikhlas…..

Jadi untuk bersedekah ternyata gak usah nunggu ikhlas dulu yang penting lakukan saja jangan dipikir jangan dihitung….
..Just Action !!! Karena Bisa itu hadir setelah Terbiasa.

Menilik pada pengalaman pribadi saya ungkapan tersebut tanpa saya sadari telah saya alami. Sebagai seorang pedagang ketemu orang yang meminta-minta merupakan aktivitas harian yang saya temui. Dulu saya amat antipati sekali melihat orang yang meminta-minta itu sebut saja seperi pengemis, pengamen dsb, pikir saya waktu itu “apa bener saya mendapatkan pahala dengan memberi kepada mereka, mereka saja terlihat masih muda, sehat dan kuat untuk bekerja bukankah secara tidak langsung saya mendidik mereka untuk malas belum lagi seperti pengamen-pengamen itu jangan-jangan uangnya untuk dibelikan minuman keras, bukan pahala yang kan diperoleh bisa-bisa saya turut menanggung dosanya karena ikut membantu, selain itu saya juga berfikir masa sih ada orang yang mau miskin selamanya dengan terus-terusan meminta setiap hari pula ataupun Tuhan membiarkan hambaNya terus menjadi peminta-minta, I dont think so”.

Pada umumnya orang berujar; “Sedekah itu seikhlasnya” kalimat itu juga yang biasanya saya gunakan kalo diminta sumbangan. “Maksudnya seikhlasnya apa sih pak” tanya seseorang, “kalo ada uang ya ngasih kalo gak ada uang ya jangan dipaksakan”, jawab saya. ” sering sedekah?” tanya temen saya, ” ya karena jarang punya uang ya jarang”, jawab saya. ” Lagian juga kalo punya uang kalo ngasihnya gak ikhlas percuma aja gak ada pahalanya”, saya nambahin. Kata “ikhlas” menjadi senjata pamungkas saya sebagai tameng untuk tidak memberi, dan sialnya ikhlas itu lama banget datangnya ke diri saya sehingga bertahun-tahun saya menjadi orang yang jarang memberi.

Nasehat simpel datang dari teman saya untuk menyadarkan; “kalau kamu mau jualanmu laris kasihkan saja receh-recehanmu itu buat mereka yang minta-minta itu, jangan kasihkan yang besar tapi cuma kepada satu orang saja karena menurutmu layak diberi tapi bagikan secara menyeluruh walaupun nominalnya kecil, terserahlah mau diapakan mereka dan apapun latarbelakang mereka itu urusan mereka dengan Tuhannya, kita cuma berusaha untuk membiasakan diri memberi karena hak orang yang telah memberi adalah menerima percaya deh’.

Dengan motivasi agar bisnis saya semakin meningkat saya ikutin saran teman itu. Emang sih efeknya tidak langsung terlihat tapi saya merasakan perubahan signifikan didalam diri saya pribadi diluar motivasi dagang tadi. Saya merasakan “kecanduan” untuk memberi kepada siapapun, ada seperti perasaan bahagia atau entah apapun itu namanya untuk terus berbagi dan memberi kalau sehari saja tidak ada pengamen atau pengemis yang datang meminta-minta atau ketika saya tidak ada uang untuk diberikan saya seperti merasa sedih atau seperti ada yang hilang . Ya, akhirnya saya turut merasakan apa yang sudah mereka-mereka lakukan untuk memperoleh kebahagiaan walaupu mungkin saya belum seektrim dan seikhlas mereka dalam memberi tetapi setidaknya saya berharap ‘kecanduan’ ini tidak luntur dan terus meningkat dan pada akhirnya mampu ikhlas lillahita’ala Amien. Sesungguhnya orang senang memberi akan senantiasa disenangi Tuhan dan Manusia, apalagi yang kurang dalam hidup ini jika kita telah disayang oleh Khalik dan Makhluknya, bener gak?

SEDEKAH MEMANG AJAIB ^_^

SEDEKAH MEMANG AJAIB ^_^

Ini pengalaman pribadi,bukan sulap bukan sihir... ;p

Kekuatan sedekah memang ajaib & benar adanya. Boleh percaya boleh engga,tp hrs percaya....*Maksa MODE ON* hahahaaa ^_~
Klo jualan......Siapa siy yg ga mau untunggg teruuusss, smua orang jg mau khan???
tp, klo jualan yg dipikirin cuma untungnya doank...menurut saya siy sama juga boonk (menurut saya loh...mo protes silahkan... hehe), Pernah denger pepatah ini ga?? " Semakin banyak kita memberi,semakin banyak pula kita menerima"/ " Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah.

Nah, Klo jualan, tp kita ga pernah menyisihkan keuntungan u/ bersedekah, sama juga Boonk khan. Hasil yg kita terima juga ga akan membawa berkah. Mungkin menurut kita,membawa berkah u/ diri kita sendiri, tp.... u/ orang lainnya mana???

Maka dari itu sejak awal rencana jualan ol ini,sy udh niatkan klo keuntungan yg sy trima ga sy ambil u/ keuntungan diri sendiri. Tp akan sy sumbangkan jg bagi orng yg memerlukan. Berapapun yg kita berikan, pasti akan dibalas setimpal. Jd,bukan masalah jumlah,tp niat tulus kita u/ membantu orang lain yg mungkin tdk seberuntung kita.
Lahhhhh..ko' jd ceramah yakss..... ;p

Crita singkatnya: saya kemaren sore transf sejumlah uang (yg jumlahnya ga begitu bnyk siy...) ke mba dayana u/ pembelian Ticket Wheel Chair Charity Program untuk penderita polio. Eh...mlmnya sekitar jam 8 nan, bunda velaachmad pesen t-shirt u/ anaknya tercinta & belinya lumayan bnyk,kirain sy u/ dijual lagi,eh ternyata u/ anaknya yg umur 4thn (memang bunda yg baikkk,Mudah2 anaknya suka yh bun .... ^_^ ). Jd nya uang yg sy sumbangkan td sore, dengan sekejab tergantikan..... Ck...ck..... Subhanallah... Allah emang ga pernah Boonk...

Jadi jangan ragu dan takut rugi untuk bersedekah yah teman2 tercinta!!!
semakin banyak kita memberi semakin banyak kita menerima...

Selamat Bersedekah!! ^_^

Nb: Muup loh.. ga ada maksud riya,cuman pengen sharing aja ^_^

by.DistroLemariAnak (Sagita)

Sedekah Singkong Buntut

Sedekah Singkong Buntut

Sekitar tahun 1980,seorang pedagang gorengan di Jakarta, selama tiga hari berturut-turut melihat seorang bocah laki-laki lusuh berlalu lalang dengan wajah sedih di depan gerobag dagangannya. Ia tahu, anak itu menginginkan satu dua potong gorengannya secara gratis. Karena tidak berani meminta, ia hanya memandang gerobag gorengan itu dari kejauhan.Pada hari keempat, pedagang gorengan itu menyisakan sepotong singkong goreng buntut yang biasanya tidak laku dijual. Dipanggilnya bocah itu sambil mengacung-acungkan singkong kecil itu.
Tak menunggu lama, si bocah langsung berlari menyambar singkong itu sambil berucap, “Terima kasih, Bang.”Matanya berbinar, senyumnya terkembang.Dua puluh empat tahun kemudian, tukang gorengan itu masih berjualan di tempat yang sama. Suatu hari sebuah mobil mewah berhenti di depan gerobagnya yang parkir di tengah perkampungan kumuh. Penumpangnya, seorang pria muda berpenampilan mewah, menghampiri pedagang gorengan itu. Ketika berhadapan, si pedagang gorengan seperti tidak peduli. Tapi ia bingung ketika si pemuda perlente itu mendadak berucap,”Bang. ada singkong buntut?” Kagak ada, Mas ! singkong buntut mah dibuang. kenapa tidak beli yang lain saja? nih, ada pisang sama singkong goreng,” ujar si pedagang gorengan itu.

”Saya kangen singkong buntutnya, Bang, Dulu Abang khan yang pernah memberi saya singkong goreng buntut,” Dulu, ketika saya masih kecil, dan ayah saya baru saja wafat, tidak ada yang membiayai hidup saya. Teman-teman mengejek karena saya tidak bisa jajan. Selama empat hari saya berlalu-lalang di depan gerobag Abang ini, sampai Abang memanggil saya dan memberi sepotong singkong goreng buntut yang langsung saya sambar,” tuturnya.Si pedagang gorengan terperangah. Dia tidak mengira sepotong singkong buntut, yang biasanya dibuang bisa membuat pemuda itu mendatangi dengan keadaan yang benar-benar berbeda. Si pedagang akhirnya ingat wajah yang pernah dikenalnya 24 tahun silam.

“Yang saya beri dulu khan cuma singkong buntut. Kenapa kamu masih ingat sama saya?” tanya pedagang itu penasaran.”Abang tidak sekedar memberi saya singkong buntut, tapi juga kebahagiaan,” papar si pemuda itu. Dia lalu bercerita bahwa sesaat setelah menyambar singkong itu dia langsung memamerkan kepada teman-temannya. Ia ingin membuktikan bahwa dia masih bisa jajan. Sesuatu yang dianggap remeh, tapi baginya itu membuatnya sangat bahagia, sehingga dia berjanji suatu saat akan membalas budi baik pedagang gorengan itu.”Saya mungkin tidak bisa membalas budi baik Abang. Tapi, saya ingin memberangkatkan Abang berhaji, semoga Abang bahagia,” ujar si pemuda itu.

Pedagang gorengan itu hampir-hampir tidak percaya. dua puluh empat tahun silam ia telah membahagiakan seorang anak yatim. maka Alloh pun membalas amal shalihnya itu. Subhanalloh………

Sedekah Rumah Tinggal

Sedekah Rumah Tinggal

Kisah ini terjadi dan dialami oleh seseorang yang bernama Mahmud, awalnya dia membeli rumah RSS (Ruma Sangat Sederhana) seluas 92 meter persegi. Setelah penyerahan kunci dari pengembangnya dia ingin segera menempatinya. Akan tetapi kamar tidur hanya satu ruang. Sedangkan anak-anaknya sudah besar dan lebih dari dua.Karena kondisi demikian, dia harus bersabar. Dia mengumpulkan dana untuk membangun tanah yang tersisa sekedar untuk tambahan ruangan kamar.
Dengan gaji yang pas-pasan dan juga harus membayar cicilan rumah di bank, keinginan itu hanya sebatas rencana.Setiap kali Mahmud menengok rumah RSSnya, hatinya menjadi risau. Dia melihat rumah tetangga kiri dan kanannya sudah mulai ditempati dan sudah terlihat anak-anak kecil ramai bermain dijalanan perumahan. Pada saat-saat risau hatinya itu, tiba-tiba ada seorang yang datang menyapa.”Kapan mau ditempati Pak?”"Entahlah. Menunggu setelah saya menambah ruangan di tanah yang masih tersisa. Kebetulan anak saya banyak, Pak” Jawab Mahmud.Orang itu yang tidak lain adalah seorang guru, berkata lagi.”Jika memang masih lama Bapak Menempatinya sebaiknya dimanfaatkan saja pak.”"Dimanfaatkan untuk apa?” Tanya Mahmud.”Dikontrakkan saja.

Saya juga mau kok untuk menyewannya.”"Bukankah Bapak sudah punya rumah, lagi pula untuk Pak?”Orang tersebut kemudian menceritakan keinginannya menyewa rumah Mahmud. Tujuannya untuk menampung anak-anak di sekitar perumahan untuk di ajari mengaji.Mendengar uraian tersebut, dengan senang hati Mahmud menyetujui. Bahkan untuk keperluan itu tidak perlu disewa. “Dipakai saja Pak Guru. Tidak perlu disewa. Tapi jika nanti saya punya dana untuk merenovasi dan saya tempati, tentunya anak-anak harus dcarikan tempat lain.”Akhirnya rumah Mahmud itu dipakai untuk kegiatan mengaji. Bahkan untuk shalat berjamaah warga disekitar tempat itu. Suatu ketika Mahmud menyambangi rumahnya kembali.

Ia bertemu dengan beberapa orang, para guru ngaji. Dia berkata.”Doakan saya dapat membeli rumah Pak. Insya Alloh rumah ini nantinya akan saya sedekahkan untuk keperluan mengaji dan musholla.” Ujar Mahmud.Rupanya ucapan itu dikabulkan oleh Alloh SWT. Dalam waktu tiga bulan, mahmud mampu membeli rumah di tempat lain yang ukurannya dua kali rumah RSS dan lebih mewah. Dia kemudia mendatangi para guru dan seketika itu juga dia mewakafkan rumah RSSnya.Orang-orang disekitar rumahnya kemudia membentuk takmir musholla. Dari tahun ke tahun kapling di kanan dan kiri musholla berhasil dibeli pengurus Musholla dan sekarang musholla tersebut sudah menjadi masjid yang berdiri megah.

Takmir di masjid sepakat untuk memberi nama mesjid itu dengan nama Baitul Mahmud.Kondisi perekonomian Mahmud semakin maju, Dia semakin kaya, Akan-anaknya sukses menjalani karir di tempat kerjanya, Anak pertama menjadi pejabat penting di Amerika Serikat.

Sekelumit kisah sedekah yang dilakukan Mahmud, orang sederhana yang mempunyai hati bersih dan berani mengambil keputusan yang tepat yaitu mengikhlaskan rumahnya sebagai tempat beramal dan jarang sekali orang yang sedang susah berani mengamil keputusan seperti itu.

Subhanalloh…………..

Sedekah Segelas Susu

Segelas Susu

Segelas susu yang pernah diberikan seorang Ibu muda puluhan tahun yang lalu, dikemudian hari menyelamatkan jiwanya., dimudahkan kesulitannya. Suatu pemberian yang tulus kepada seseorang yang dalam kesulitan.
Seorang anak muda yang sangat miskin bekerja sebagai wiraniaga untuk membiayai biaya kuliahnya. Pada suatu hari, dia sangat bingung karena disakunya dia hanya mengantongi uang sepuluh sen saja, padahal pada saat itu dia sangat kelaparan.
Kemudian, dia memberanikan dirinya untuk meminta makanan pada tetangganya, tapi ia gugup katika seorang nyonya perlente membuka pintu. Akhirnya dia tidak jadi minta makanan tapi hanya minta segelas air saja. Perempuan tersebut merasa bahwa anak muda didepannya sedang berada dalam kesusahan. Maka dia berikan kepadanya segelas susu yang kemudian dia minum dengan perlahan-lahan.

Selang beberapa saat, si anak muda bertanya,"berapa,", "oh, anda tidak perlu bayar apapun?" kata perempuan itu, "Ibuku mengajarkan kepadaku untuk tidak menerima apapun dari perbuatan baik." Kalau begitu saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya." ucapnya.
Bertahun-tahun kemudian, nyonya yang baik hati itu jatuh sakit. Para dokter tidak tahu persis apa penyakit yang dideritanya. Lalu dia dikirim ke rumah sakit dan diserakan kepada anak muda dulu yang kini sudah menjadi dokter. Ketika dia mendengar nama kota asal pasienya, matanya bersinar dan mulai menduga-duga siapakah dia?. Dia mulai merawatnya dan segera mengenal si nyonya. Diapun terus berupaya keras untuk menyelamatkan nyawanya. dan akhirnya, setelah melewati perjuangan yang berat, perempuan itupun sembuh. Dokter itu meminta administrasi rumah sakit untuk menyampaikan kepadanya tagihan yang perlu dia setujui. Setelah menyelesaikan tagihan tersebut dan menandatanganinya, selanjutnya dia kirimkan kembali kepada pasienya.

Perempuan itupun tahu bahwa dia harus membayar tagihan tersebut selama sisa usianya. Walaupun bahagia karena telah disembuhkan, dia juga memendam kekhawatiran akan biaya pembayaran yang pastinya sangat mahal dan takut tidak bisa membayarnya. Dengan hati dag-dig-dug, diapun membuka amplop tersbut. Namun, tiba-tiba dia sungguh terkejut ketika membuka tulisan diatas surat tagihan itu ." Tagihan ini sudah dibayar bertahun-tahun yang lalu dengan segelas susu,,,, Dari dr "Howard." Perempuan itupun menangis,,tangisan kebahagiaan yang terus membasahi mukanya.

Dia bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada dokter itu akan balasan kebaikanya.Dia tidak tahu makna kata segelas susu yang tertera di dalam secarik kertas dalam amplop. Setelah mulai sembuh benar, perempuan tadi mencoba mencari nama dr Howard, dan akhirnya dr Howard menceritakan makna kata 'segelas susu' tadi. Dengan tercenung perempuan itu akhirnya mencoba mengingat kembali kejadian berpuluh tahun yang lalu, rupanya petuah ibundanya dulu yaitu kata-kata "Ibuku mengajarkan kepadaku untuk tidak menerima apapun dari perbuatan baik." makna yang sangat dalam dari segelas susu.

Subhanalloh....