Kamis, 06 Desember 2012

Kasihilah Ibumu Selagi Ia Masih Hidup

"Bisa saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga! Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. 

KASIH IBU

Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk. Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak berkata, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh." Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. 

Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. 
Ibunya mengingatkan, "Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?" Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya. Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka. Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia." kata sang ayah. Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. 

Beberapa waktu kemudian ia pu menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat.
Ia menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya." Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini." Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?" Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat. 


Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui. "Kasihilah ibumu selagi ia masih hidup. Tidak ada kasih dan cinta yang lebih dari segalanya selain kasih dan cinta seorang ibu untuk anaknya. Ibumu akan berbuat apa saja untuk melindungi dan menolong engkau saat dalam bahaya"."Sekali lagi, kasihilah ibumu selagi ia masih hidup. Esok mungkin terlambat"

Senin, 05 November 2012

PESAN TERAKHIR ROSULULOH SAW.



Hari Rabu, lima hari sebelum Rasulullah berpulang ke rahmatullah, panas tubuh akibat sakit itu seperti menyala. Rasa perih yang diderita beliau semakin dasyat. Untuk beberapa saat Rasulullah, tak sadarkan diri. Setelah siuman, beliau berkata,


“Tuanglah air dari tujuh kantong air yang diisi dari berbagai sumur ke atas badanku. Mudah-mudahkan aku sanggup keluar menemui orang-orang dan menyampaikan wasiatku kepada mereka.”
Rasulullah kemudian didudukan pada sebuah tempayan dan tubuh beliau disiramkan air hingga beliau berkata, cukup,cukup!”
Rasulullah merasa badannya menjadi segar. Dengan kepala yang terikat kain, beliau masuk ke masjid menuju mimbar. Sambil duduk di atas mimbar, Nabi berpidato di depan kaum Muslimin,
“Allah telah memerangi orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat peribadahan.” (HR. Bukhari)
Setelah itu dengan tegas beliau kembali bersabda,
“Jangan kamu kuburku sebagai berhala yang disembah!” (Imam Malik dalam Muwatha)
Rasulullah, kemudian mengajukan dirinya untuk diqishash,
“Barangsiapa yang punggungnya pernah ku cambuk, ini punggungku dan hendaklah ia membalas mencambuk! Dan barangsiapa yang pernah kumaki kehormatannya, ini kehormatanku dan hendaklah ia membalasnya!”
Setelah berkata demikian, Rasulullah turun dari mimbar dan menunaikan shalat Dzuhur. Selesai shalat, beliau bangkit kembali naik ke mimbar dan mengulang perkataannya tadi dengan penuh kesungguhan. Tak lama kemudian ada seseorang yang bangkit dan berkata, “ Anda berutang kepada saya sejumlah tiga dirham.”
Rasulullah pun berkata, “Wahai Fadhl, berikan kepadanya tiga dirham!.
Dalam pidato beliau itu, Rasulullah berpesan agar selalu memperlakukan orang-orang Anshar dengan sikap baik. Beliau bersabda,
“Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bersikap baik kepada orang-orang Anshar! Mereka adalah teman kepercayaan dan orang dekatku. Mereka telah menunaikan segala yang wajib mereka laksanakan dan yang tersisa hanyalah apa yang harus mereka terima. Oleh karena itu, sambutlah dengan baik apa yang datang dari orang baik mereka, dan maafkanlah orang yang tidak baik di antara mereka!”.
Dalam satu riwayat lain, Rasulullah bersabda,
“Orang-orang akan bertambah banyak, sementara orang-orang Anshar semakin menciut jumlahnya sehingga mereka umpama garam dalam makanan. Barangsiapa di antara kalian mengurusi suatu perkara yang dapat memudharatkan atau memberikan manfaat kepada seseorang , hendaklah ia menyambut (segala sesuatu yang datang) dari orang yang baik di antara mereka, dan memaafkan orang yang jahat di antara mereka!” (HR. Bukhari)
Kemudian Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya seorang hamba telah diperintahkan oleh Allah untuk memilih yang diberikan oleh Allah kepadanya, yaitu antara bunga dunia berapa berapa pun yang disukainya atau apa yang ada di sisiNya. Maka hamba itu memilih apa yang ada di sisi Allah.”
Abu Sa’id al Khudri menyebutkan, “Abu Bakar menangis saat mendengarkan Rasulullah berkata demikian. Sambil menangis, ia mengucapkan, ‘Dengan sekaian bapak dan ibu kami, kami akan menebus anda, wahai Rasulullah !’ Kami yang mendengar ucapan Abu Bakar tercengang. Lantas orang-orang berkata sesamanya, ‘Coba perhatikan Pak Tua itu, sementara Rasulullah memberitahukan tentang seorang hamba yang diperintahkan oleh Allah untuk memilih antara bunga dunia seberapa yang disukainya, atau apa yang ada di sisiNya dan hamba itu memilih apa yang ada pada di sisi Allah. Ia malah mengatakan, ‘Dengan sekalian bapak dan ibu kami, kami akan menebus anda, wahai Rasulullah!’ Pada hakikatnya, yang dimaksud dengan hamba yang diperintahkan untuk memilih itu adalah Rasulullah dan diantara kami, Abu Bakarlah yang lebih mengerti maksud dari ucapan rasulullah tersebut,” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah juga berpesan untuk selalu bersikap baik kepada Abu Bakar, Rasulullah bersabda,
“Orang yang paling banyak memberikan jasa dan hartanya kepadaku ialah Abu Bakar. Seandainya aku mengambil kekasih selain Rabb-ku, sungguh Abu Bakarlah orangnya. Akan tetapi persaudaraan dan kasih sayang (di antara kami) hanyalah lantaran Islam. Semua pintu kecil di dalam masjid harus ditutup kecuali pintu kecil milik Abu Bakar,” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada hari Kamis, empat hari sebelum Rasulullah wafat, dengan rasa sakit yang semakin berat mendera, Rasulullah berkata,
“Kemarilah, aku akan menuliskan kepada kalian sebuah surat, jika (kalian berpegang pada) surat ini kalian tidak akan pernah tersesat!”
Ketika itu, beberaoa sahabat berada di rumah beliau, termasuk Umar. Mendengar Rasulullah berkata demikian, Umar berkata, “Beliau sedang dikuasai rasa sakit. Al Qur’an telah ada bersama kalian dan Kitabullah sudah cukup untuk kamu.” Oleh karena itu, semua yang berada dalam rumah jadi berselisih dan saling bertikai. Satu pihak mengatakan, “Mendekatlah, Rasulullah akan menuliskan sesuatu kepada kalian!” Sementara pihak yang lain sependapat dengan UMar. Dalam suasana gaduh akibat silang pendapat itu, Rasulullah pun berkata, “ Tinggalkanlah aku! (HR. Bukhari)
Maka pada hari itu, Rasulullah mewasiatkan tiga perkara, yaitu pertama, supaya orang-orang Yahudi, Nasrani dan Musyrikin diusir keluar dari Jazirah Arab. Kedua, agar hadiah diberikan kepada utusan-utusan sebanyak yang beliau berikan kepada mereka. Ketiga, perawi sudah tidak mengingatkannya lagi. Boleh jadi, wasiat ketiga adalah untuk selalu berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah; atau untuk memberangkatkan bala tentara yang dipimpin oleh Usamah; atau tentang menjaga Shalat dan budak-budak yang dimiliki oleh kaum muslimin.
Meski Rasulullah berada dalam keadaan sakit parah, beliau tetap melaksanakan shalat lima waktu secara berjama’ah samapi hari kamis, empat hari sebelum beliau wafat. Pada hari itu Rasulullah hanya dapat shalat berjama’ah hingga shalat magrib saja. Dan seperti biasanya, beliau membaca surat al Mursalat dalam shalat itu.
Ketika waktu Isya, sakit beliau bertambah parah sehingga beliau tidak sanggup keluar dari rumah untul shalat berjama’ah. Tentang saat itu, Aisyah memaparkan, “Waktu itu Rasulullah bertanya, ‘Sudahkah orang-orang shalat? Kamipun menjawab, ‘Belum, wahai Rasulullah. Mereka sedang menunggumu.’ Lantas beliau berkata, ‘Siapkan air di dalam tempayan untukku!’ setelah kami mengerjakan permintaannya, beliaupun mandi. Kemudian beliau bangkit dan bediri, namun kemudian beliau jatuh pingsan. Saat siuman, beliau bertanya lagi, ‘Apakah orang-orang sudah shalat?’ Kemudian Rasulullah mandi dan ketika hendak bangkit, ia pingsan lagi untuk kali kedua, dan hal yang sama juga terulang pada yang ketiga kalinya. Oleh karena itu Rasulullah mengirim pesan kepada Abu Bakar untuk mengimami shalat jama’ah. Dalam beberapa hari itulah Abu Bakar mengimami tujuh belas kali shalat jama’ah di masa hidup Rasulullah.” (HR. Bukhari)
SUMBER : grelovejogja.wordpress.com

KEMATIAN TIAP HARI SEMAKIN DEKAT

Sadarkah Saudaraku bahwa kematian itu nyata dan yang hidup akan menerima akhir hidupnya, Kecuali ALLAH SWT. YANG MAHA HIDUP.
janganlah engkau mencintai yang ada di dunia ini lebih cinta kamu dengan ALLAH SWT kelak kamu akan tergolong orang-orang merugi.

TAK ADA YANG ABADI


"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya,"(QS Ali 'Imran [3]: 185).
 
Al Maut (kematian) senantiasa datang tiba-tiba, tanpa kompromi, tidak bisa diprediksi, dan tak peduli kondisi yang didatanginya.
Baru-baru ini, seorang peserta Kejurnas Karate tiba-tiba jatuh tersungkur meninggal dunia di tengah pertandingan. Seorang tersangka korupsi didatangi kematian selesai ia joging di dalam penjara. Seorang pejabat mendadak wafat ketika serah terima jabatan.
Ada pula yang menghadap Allah swt saat lelap tidur, bersujud dalam shalat, dan setelah bertarung melawan penyakit. Sebagian lagi wafat dalam peperangan, kecelakaan atau bencana alam.
 
Kematian itu sunnatullah
Ayat di atas menegaskan bahwa kematian adalah sunnatullah. Setiap orang pasti akan merasakannya. Ada jutaan wasilah (cara) dan sebab kematian yang setiap saat mengintai seseorang dan tak dapat dihindari.
Allah berfirman, "Di mana pun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi dan kokoh..."  (QS An-Nisaa' [4]: 78). 

Dalam kajian Imam Ibnu Katsir rahimahullah disebutkan, Allah Ta'ala memberitahu kepada semua makhluk-Nya bahwasanya tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. "Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal," (QS Ar-Rahmaan [55]: 26-27). 

Maka, hanya Allah yang Mahahidup dan tetap kekal. Dia-lah Yang Mahaakhir sebagaimana Dia Yang Mahaawal. Di dalam ayat tersebut terdapat takziyah untuk semua umat manusia bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi yang kekal (Tafsir Ibnu Katsir, I/386). 

Sementara Sayyid Quthb rahimahullah dalam Fi Zhilali'l Qur'an (I/532-533) ketika menafsirkan ayat tersebut menyampaikan, ada sebuah hakikat/kenyataan yang harus tertancap kuat dalam jiwa. Yaitu  bahwa kehidupan di muka bumi ini temporer, terikat oleh ajal, kemudian datanglah keberakhirannya, tidak bisa tidak.Orang-orang shalih akan mati, demikian pula orang-orang thalih (lawan shalih/buruk). Begitu juga para mujahid (pejuang), orang-orang yang malas berjuang, mereka yang memuliakan dirinya (dan konsisten) dengan akidah, dan orang-orang yang menghinakan dirinya kepada orang yang diperbudak (oleh nafsu dan kekuasaan). Anak-anak, orangtua, orang yang sakit, yang sehat, yang kuat fisiknya, yang lemah, semuanya akan mati. 

“Setiap yang berjiwa akan merasakan mati.” Setiap jiwa akan merasakan “tegukan” ini dan meninggalkan kehidupan fana. Tidak ada yang berbeda antara satu jiwa dengan jiwa yang lain dalam merasakan tegukan dari ”gelas” yang meliputi/mengelilingi semua jiwa. Pembedanya hanyalah nilainya (value)dan tempat persinggahan terakhirnya. 

Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan."
Penyebutan penyempurnaan ganjaran atas ketaatan dan kemaksiatan di sini memberi isyarat tentang sebagian ganjaran yang baik maupun yang buruk yang sampai kepada manusia di dunia atau di alam kubur, sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Sesungguhnya kuburan itu bisa menjadi taman dari taman surga atau galian dari galian neraka," (HR Tirmidzi no. 2460, katanya, "Ini hadits gharib, kami tidak mengenalnya kecuali dari jalur periwatan ini").

Inilah nilai yang menjadi pembeda satu dengan yang lain. Inilah tempat persinggahan terakhir yang membedakan seseorang dengan orang lain. Nilai kekal nan abadi yang berhak untuk diraih dengan usaha keras, susah payah dan pengorbanan. Tempat persinggahan terakhir yang menakutkan yang berhak mendapatkan seribu perhitungan dan pertimbangan. 

Penggunaan lafaz "Zuhziha" dalam ayat tersebut, menurut Sayyid Quthb, menunjukkan bahwa neraka itu memiliki jaadzibiyyah (daya tarik/magnet) yang menarik keras siapa saja yang mendekat kepadanya dan masuk ke dalam ruang lingkupnya. Bukankah maksiat juga memiliki daya tarik yang menggiurkan?!
Karena itu, kita butuh orang yang menggerakkan dan menjauhkan kita sedikit demi sedikit agar selamat dari daya tarik neraka yang dahsyat itu! Maka, barangsiapa yang dijauhkan dari ruang lingkup neraka dan diselamatkan dari daya tarik/magnetnya  dan dimasukkan ke dalam surga, maka benar-benar ia telah beruntung, sukses dan berbahagia (Lihat Fii Zhilali'l Qur'an I/533).
 
Dunia, sementara dan memperdaya
Setelah menjelaskan kematian itu pasti menimpa setiap jiwa, ayat di atas ditutup dengan kenyataan bahwa "Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”ini sebuah warning bahwa dunia yang kita singgahi dengan segala pernak-perniknya; kelezatan fisik baik berupa makanan, minuman dan hubungan biologis suami isteri, maupun kelezatan non fisik seperti kedudukan, jabatan dan kekuasaan, semua itu betul-betul mataa'un (kesenangan), namun bukan kesenangan hakiki. 

Ia hanya seperti barang komoditi yang dibeli secara tertipu dan terperdaya, tidak lama kemudian terkuak keburukan dan kebusukannya. Hanya kebanyakan manusia selama ini tertipu dan terperdaya sehingga mengganggap dunia itu segala-galanya yang pantas diraih dengan menghalalkan segala cara. Padahal ia kesenangan yang menipu, fana, hina, hangus dan akan ditinggalkan, tidak bisa dibawa ke liang lahat.
Allah swt berfirman, "Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal," (QS Al-A'laa [87]: 16-17). 

Firman-Nya pula, "Dan apa saja [maksudnya: hal-hal yang berhubungan dengan duniawi seperti, kekayaan, jabatan, keturunan] yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Tidakkah kamu mengerti?"(QS Al-Qashash [28]: 60). 

Rasulullah juga telah mengingatkan dalam sabdanya, "Demi Allah, tidaklah perbandingan dunia dengan akhirat itu kecuali seperti (ketika) salah seorang kalian memasukkan jarinya ini–Yahya, perawi hadits, memberi isyarat dengan jari telunjuknya–ke dalam sumur (lalu diangkat), maka perhatikanlah apa yang kembali (masih menempel di jari)!" (HR Muslim no. 7376).
Maka, pantaskah kita menghabiskan seluruh potensi dan energi kita hanya untuk dunia yang seremeh dan sehina itu dengan mengorbankan akhirat kita?

NIKMAT ALLAH SWT YANG SERING KITA LUPAKAN



Hadits Arba’in Nomor 26, Bagian Kedua

          Di antara kandungan hadits Rasulullah saw dalam kitab Arba'in Nawawiyyah yang ke-26 ini adalah pelajaran kepada manusia untuk mensyukuri nikmat Allah swt yang sangat melimpah dan tidak dapat dihitung.

BERSYUKUR

Sebab, hadits Arba'in ini bisa dimaknai atau dipahami, “diciptakan oleh Allah terdiri dari banyak ruas, semuanya ada tiga ratus enam puluh (360) ruas. Setiap ruas ini mencerminkan kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia. Oleh karena itu, setiap ruas ini diperintahkan untuk bersedekah, sebab atas nama setiap ruas ini merupakan ekspresi dan bentuk syukur manusia kepada Allah.” (lihat Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jami' al-Ulum wa al-Hikam saat menjelaskan hadits ini).

Kewajiban manusia untuk mensyukuri nikmat penciptaan manusia yang terdiri dari susunan ruas-ruas dan organ-organ ini telah diisyaratkan dalam QS Al-Infithar: 6-8, QS Al-Mulk: 23, QS An-Nahl: 78, QS Al-Balad: 8-9.

Diceritakan bahwa pada suatu malam seorang ulama bernama al-Fudhail bin 'Iyadh membaca Al-Qur'an surat Al-Balad ayat 8 sampai 9 ini, lalu ia menangis. Maka orang-orang yang melihatnya menanyakan apa yang membuatnya menangis? Ia menjelaskan, "Tidakkah engkau memasuki malam harimu dalam keadaan bersyukur kepada Allah swt yang telah memberikan dua mata kepadamu dan dengan dua mata ini engkau dapat melihat? Tidakkah engkau memasuki malam harimu dalam keadaan bersyukur kepada Allah swt yang telah menjadikan untukmu satu lidah yang dengannya engkau dapat berbicara?" Fudhail terus menerus menyebutkan organ-organ seperti ini dengan mengajukan pertanyaan retoris yang sama.

Kenikmatan yang terlupakan

Sebagai penegas terhadap keharusan untuk mensyukuri nikmat Allah ini, Rasulullah bersabda, “Ada dua kenikmatan, banyak manusia menjadi merugi gara-gara dua kenikmatan ini, yaitu; nikmat kesehatan dan nikmat waktu luang.” (HR Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no. 6412).
Bukankah semua ruas tulang belulang manusia merupakan wujud dari kesehatan yang Allah swt berikan itu? Namun, sayangnya, sebagaimana tersebut dalam hadits, banyak manusia melupakannya sehingga mereka menjadi merugi karena tidak mensyukurinya.

Pertanggungjawaban untuk setiap kenikmatan

Semua kenikmatan yang Allah swt berikan kepada manusia akan dimintai pertanggungjawabannya. Termasuk kenikmatan yang berupa 360 ruas tulang belulangnya. Caranya adalah dengan menunaikan hak dan kewajiban setiap ruas tulang belulang tersebut untuk bersedekah, sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan yang lalu.
Hal ini sejalan dengan QS At-Takatsur: 8 yang menegaskan bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala bentuk kenikmatan yang telah diterimanya. Sejalan pula dengan QS Al-Isra':36 yang menegaskan bahwa pendengaran, penglihatan dan hati itu akan dimintai pertanggungjawaban.

 Cara mensyukuri nikmat Allah

Ada banyak cara yang dapat dilakukan manusia untuk mensyukuri nikmat Allah swt. Secara garis besar, mensyukuri nikmat ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
Mensyukuri dengan hati, dengan mengakui, mengimani dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan ini datangnya dari Allah swt semata.
Mensyukuri dengan lisan, dengan memperbanyak ucapan alhamdulillah (segala puji milik Allah) wasysyukru lillah (dan segala bentuk syukur juga milik Allah).
Mensyukuri dengan perbuatan.
Mempergunakan segala bentuk kenikmatan Allah untuk menunaikan perintah-perintah Allah, baik perintah wajib, sunnah maupun mubah.
Mempergunakan segala bentuk kenikmatan Allah dengan cara menghindari, menjauhi dan meninggalkan segala bentuk larangan Allah, baik larangan yang haram maupun yang makruh.

Syukur dengan hati, lisan dan perbuatan ini hendaklah terefleksi dan tercermin pada setiap momentum yang bersifat zhahir, bahkan yang tersamar sekalipun. Contoh cerminan sikap mensyukuri nikmat Allah yang tampak secara lahir ini dapat dilihat dalam sikap Nabi Sulaiman as saat ia mendapati singgasana Bilqis telah ada di sampingnya dalam sekejap mata. Saat itu Nabi Sulaiman langsung berkata, "Ini adalah anugerah Allah. Dia bermaksud mengujiku, adakah aku bersyukur ataukah aku kufur." (QS An-Naml: 40)

Juga tampak dari sikap Raja Dzulqarnain yang sukses membangun radm (semacam benteng) untuk menghalau serbuan Ya'juj Ma'juj. Setelah sukses besar yang luar biasa ini, ia tidak menisbatkan prestasi spektakulernya itu kepada dirinya, akan tetapi menisbatkannya kepada Allah. Ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku." (QS Al-Kahfi: 98)

Sikap yang sebaliknya ditunjukkan oleh Qarun. Saat ia ditanya oleh kaumnya tentang sukses bisnisnya, ia tidak menisbatkan sukses itu kepada Allah. Dengan penuh 'ujub, sombong dan takabbur ia berkata, "Semua ini aku dapatkan semata-mata karena ilmuku, kepintaranku, kepiawaianku" (QS Al-Qashash: 78). Karena itulah ia diazab Allah. 

Nikmat Allah terlalu banyak

Jumlah kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia begitu banyaknya, dan sekiranya manusia bermaksud menghitungnya, niscaya ia tidak akan mampu melakukannya, sebagaimana QS Ibrahim: 34 dan QS An-Nahl: 18.
Jika kenikmatan sangat banyak dan manusia tidak akan mampu menghitungnya, lalu bagaimana kita harus mensyukuri seluruhnya?

Memang demikianlah adanya, yaitu bahwa manusia tidak akan mampu mensyukuri seluruh nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Oleh karena itu, jangan ada perasaan, apalagi keyakinan bahwa manusia akan mampu mengimbangi seluruh kenikmatan Allah dengan mensyukurinya. Dengan demikian, manusia akan terus berusaha untuk secara terus menerus mensyukurinya.

Inilah yang dilakukan Rasulullah saw. Beliau terus melakukan shalat malam yang panjang dan sangat baik, sehingga telapak kaki beliau bengkak-bengkak. Saat 'Aisyah ra bertanya, “Bukankah dosa engkau yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni oleh Allah?" Maka beliau saw menjawab, "Tidakkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?" (HR Muslim, no 2819).

Namun, perasaan bahwa manusia tidak akan mampu mensyukuri nikmat Allah, bisa menjadi kontraproduktif. Ini akan menjadikan manusia frustrasi dan putus asa untuk dapat mensyukuri nikmat Allah dan sikap ini tentunya tidak dibenarkan oleh Islam. Oleh karena itu, ada dua cara yang ditawarkan Rasulullah dalam hal ini, yaitu:
Setiap hari hendaklah manusia menunaikan shalat Dhuha. Terkait hal ini beliau bersabda, "Semua itu cukup tergantikan dengan dua rakaat Dhuha” (HR Muslim, hadits no. 720). Maksudnya, shalat Dhuha bernilai cukup untuk menggantikan kewajiban setiap ruas tulang belulang manusia dalam menunaikan kewajibannya untuk bersyukur.
Hendaklah seorang manusia merutinkan membaca dzikir pagi dan sore dengan bacaan sebagai berikut: Allahumma ma ashbaha bi (kalau sore membaca: Allahumma ma amsa bi) min ni'matin auw bi ahadin min khalqika faminka wahdaka la syarika laka, falakal hamdu walakasy-syukru. Yang artinya "Ya Allah, kenikmatan apa saja yang engkau berikan kepadaku pada pagi hari ini, atau pada sore hari ini, atau yang engkau berikan kepada siapa pun dari makhluk-Mu, maka semua itu adalah dari-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu, maka, untuk-Mu segala puji dan untuk-Mu pula segala syukur."
Rasulullah menjelaskan bahwa siapa saja yang pada pagi harinya membaca dzikir tersebut, maka ia telah menunaikan syukurnya pada hari itu. Dan siapa saja yang membaca dzikir tersebut pada sore harinya, maka ia telah menunaikan syukurnya pada malam hari itu. (HR Abu Daud, An-Nasa-i, menurut Imam Nawawi, hadits ini Isnad hadits ini bagus dan Abu Daud tidak mendha'ifkannya. Namun menurut Syekh Nashiruddin al-Albani hadits ini dha'if)
Syekh Abul Hasan Ubaidullah al-Mubarakfuri berkata dengan mengutip dari Imam Asy-Syaukani, "Hadits Rasulullah ini mengandung faedah agung dan perilaku mulia, sebab hadits ini telah menjelaskan bahwa kosa kata yang singkat dan pendek ini telah mampu menunaikan kewajiban bersyukur...” (lihat Mir'atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, juz 8 hal. 148).
 sumber : http://www.ummi-online.com