Jumat, 13 Juli 2012

Menanamlah Meskipun Tanamanmu Dirusak..tapi Itu Sedekah



Tentunya ketika kita menanam sesuatu tanaman, maka kita mengharapkan tanaman tersebut bisa kita panen..

Tapi bagaimana bila tanaman yang kita tebar dan semai benihnya, rawat dan siram pohonnya,

Ternyata dirusak oleh pihak-pihak yang tidak kita kehendaki seperti daunnya di makan ulat atau dimakan ayam, buahnya digerogotin lalat buah,ulat buah, belatung ataupun kelelawar. Juga Bijinya dimakan burung . Bahkan tanaman yang sebentar lagi dipanen ternyata di curi orang…

Jangan lah anda murka dan bersedih hati, bersabarlah dan bergemberilah karena usaha anda tidaklah sia-sia..

Karena telah berkata Orang yang benar sekaligus dibenarkan perkataannya, dia shallallahu alaihi wa sallam berkata:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا, أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian hasil tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan (tanaman tersebut) menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari hadits no.2321)

(oleh :sugeng priyadi )

Nyawa Dibayar Nyawa, Lewat Sedekah

Nyawa Dibayar Nyawa, Lewat Sedekah

Sepasang suami istri sesenggukan di hadapan saya, tepat dibibir loket kasir Rumah Sakit Bhakti Yudha. Saya yang tengah menanti penghitungan obat untuk kedua anak kembar yang kala itu berusia dua tahun, hanya terpana melihat bagaimana dua sosok itu lunglai dibawah tatapan nanar dari petugas kasir.

“ Saya cuma kasir bapak , ibu… jadi nggak bisa kasih kebijakan apa-apa!” si kasir pria tampak empatii namun tak bisa berbuat banyak. Dua orang lelaki dan perempuan itu menuju deretan kursi panjang untuk sedikit menopang tubuh mereka yang bagai tak bertenaga.

Ketika saya bertanya pada kasir, ia menceritakan bahwa anak dari ibu dan bapak muda itu sedang dirawat karena diare dan boleh keluar hari itu. Mereka hanya punya uang seratus ribu rupiah sedang biaya untuk perawatan sisanya adalah tiga ratus dua puluh ribu rupiah. Karena telah berusaha mengurus surat miskin di hari minggu itu namun tidak membuahkan hasil karena kantor kelurahan tutup maka mereka terpaksa harus meminta kebijakan untuk bisa membawa sang anak segera keluar agar biaya perawatan tidak bertambah sehari.

“ Jumlah tagihan tiga ratus dua puluh ribu rupiah itu sudah di kurangi oleh pimpinan rumah sakit pak, tapi mereka tetap nggak bisa bayar, jadi terpaksa tunggu besok!” ujar si kasir.

“Jadi kalau tunggu besok, biaya kamar tambah lagi dong mas?” Tanya saya.

“ Ya sudah pasti, itu yang bikin mereka bingung.” Jawab kasir.

Saya melongok saku kemeja dan menggenggam uang tiga ratus ribu rupiah yang sedianya untuk membeli obat. Kala itu matahari kehidupan kami sekeluarga sedang surut, karena saya nekat jadi pengusaha dan menemui kegagalan dalam mengelolanya hingga jaminan kesehatan dan kenikmatan ketika jadi pegawai saya lepaskan demi meraih cita-cita jadi pengusaha. Tiga ratus ribu rupiah itu uang terakhir kami, untuk membeli obat, sementara kebutuhan untuk menggaji pegawai dua hari kedepan belum tahu dapat dari mana.

Saya hampiri kursi panjang depan loket dan mencoba menyapa keduanya. Saya menawarkan untuk memberi uang sejumlah dua ratus ribu dari tiga ratus ribu rupiah yang saya punya.

“Jangan pak..itu pasti untuk buat beli obat, nanti bapak nggak bisa bayar obat!” sang suami menggeleng menolak. Saya meyakinkan mereka bahwa saya hanya perlu menebus satu resep saja karena anak saya seusia dan bisa berbagi obat untuk sementara.

Dengan tambahan uang itu mereka menuju kasir dan membayar jumlah tagihan yang harus mereka setorkan sore itu. Uang masih kurang dua puluh ribu rupiah namun kasir memberi kebijakan yang datang dari dirinya sendiri.

“Kalau cuma dua puluh ribu rupiah, saya bisa bantu kasih keringanan dengan uang saya sendiri !” ujar kasir yang baik budi itu. Transaksi selesai dan suami istri itu mendapatkan surat lunas untuk membawa pulang si buah hati dari kamar perawatan segera.

Sang suami mencium tangan saya yang segera saya tepis. Berkali kali ucapan Terima kasih meluncur dari mulutnya.

“ Bapak kerja dimana?” Tanya saya.

“ Kerja sama tukang jahit pak, di jagakarsa!” jawabnya.

“ Kasihan yang punya kios jahit pak, jahitannya mulai nggak laku. Saya juga beberapa hari ini bingung nggak dapat pemasukan, anak sakit diare ..untung ada bapak, terima kasih pak semoga Allah membalasnya!” Rupanya ia seorang penjahit yang bekerja pada tukang jahit. Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tukang jahit jaman sekarang ditengah banjirnya produk tekstil jadi dari mana mana. Jangankan ia yang cuma pekerja di kios jahit, sedang majikannyapun juga terhempas dalam kondisi yang sama. Saya hanya sedikit mengingat wajahnya hingga ia dan istrinya pamit meninggalkan saya untuk mengambil anak mereka.

Sampai dirumah saya menceritakan pada istri tercinta bahwa obat hanya bisa dibeli separuh saja, karena ada orang lain yang lebih membutuhkannnya. Meski itu adalah uang terakhir yang dipegang namun dengan kebesaran hati ia mau menerimanya. Penderitaan mereka masih lebih buruk tak sebandng dengan kondisi bisnis kami yang masih bisa menghasilkan sedikit rejeki.



Lima tahun setelahnya, ketika saya membelokan kendaraan di jalan yang sepi pukul setengah Sembilan malam. Tiba-tiba tiba sebuah palu godam seperti menghantam tengkuk saya. mobil yang tengah saya kendarai membanting ke kiri masuk keselokan kecil dan saya tak sadarkan diri. Kelelahan yang amat sangat seharian membuat saya tak sadarkan diri ketika menyetir dan membawa saya dalam ketidak sadaran di pinggir jalan selama dua jam lebih tanpa ada yang menolong karena mereka mengira saya sedang parkir. Lamat-lamat ketika sedikit sadar saya paksa melajukan mobil menuju satu titik terang dan kembali tak sadar diri di depan sebuah wartel.

Bau alcohol menyengat ketika seseorang berbaju putih mengoles sesuatu kehidung saya dengan selang infus yang siap ditancapkan ke lengan. Saya tergolek dan berusaha bangkit dari ruang UGD rumah sakit cilandak, entah siapa yang membawa saya kesana. Seorang ibu setengah baya mengusap-usap kening saya dan membacakan beberapa doa dan di sampingnya berdiri dua lelaki yang tampak khawatir.

“ Alhamduilillah bapak sudah sadar, tadi pingsan di depan wartel , saya ibu hajjah Homsah yang punya wartel, tadi kita bertiga bawa kesini naik taksi. Sebetulnya bisa bawa pakai mobil bapak, tapi nggak ada yang bisa bawa mobil matik!” Ibu hajjah homsah adalah penolong saya malam itu bersama dua lelaki disampingnya.

Dokter datang dan mereka menyingkir sementara, saya diberi beberapa obat untuk mengembalikan kondisi. Usai itu ketiga orang ini menghampiri saya kembali dan memastikan kondisi diri saya lalu memberikan kembali dompet saya berisi uang dua juta rupiah, hand phone beserta kunci mobil yang mereka amankan ketika saya tak sadarkan diri di kampung mereka.

“ Ini dompetnya, tadi dipakai untuk bayar taksi seratus ribu dan bayar administrasi rumah sakit seratus ribu , jadi habisnya dua ratus ribu. Mobil masih aman di depan wartel ibu, jadi nggak usah khawatir. Yang penting istri di rumah sudah dihubungi dan akan menuju kesini!” ujar bu Hajjah Homsah.

“ Masya Allah, sebegitu baik ibu hajjah juga bapak-bapak bawa saya kesini, untung masih ada orang baik di Jakarta ini, kalau nggak , habislah semua uang dan mobil saya, dan mungkin nyawa saya juga nggak akan tertolong” saya mengucapkan beribu terima kasih pada mereka.

“ Ini Bang Udin dan Edi yang nolong bu haji bawa bapak kesini!” kata bu haji, saya menggengam erat tangan Bang udin.

“ Bang Udin ini montir yamaha di bengkel depan wartel bu haji!” seru bu hajjah Homsah menambahkan.

Lalu saya menjulurkan tangan pada Pak Edi untuk mengucapkan terima kasih dalam kondisi yang lemah.

“ Terima kasih pak, sudah menyelamatkan saya, juga sudah bikin repot bapak sama bang Udin!” tukas saya.

“Pak Edi ini Tukang Jahit disamping wartel, tadi dia masih njahit baju dan dia yang duluan nolong dan teriak ke bu haji sama bang udin!” ujar bu hajjah.

“ Ah..kebetulan aja. Saya kalau lihat orang sakit jadi ingat saya juga pernah di tolong orang dulu, di rumah sakit bhakti yudha, tapi saya nggak pernah ingat orang itu karena sibuk ngurusin anak saya yang di tahan rumah sakit!” Pak edi tersenyum.

Entah mengapa. Saya menitikkan air mata. Lamat-lamat saya mengingat sedikit wajah Pak Edi ketika dulu wajah kurusnya yang kini berubah gemuk menangis di bibir loket kasir. Saya menarik tangannya dan memeluknya erat mendekat ke tempat tidur saya.

“ Allah mengirim bapak untuk saya, terima kasih!” seru saya lirih. Ia tak mengerti apa arti seruan saya.

Pagi itu pukul tiga dini hari , Pak Edi menjadi sebuah Episode ‘Rahasia Ilahi’ yang menghampiri hidup saya.

Lima tahun lalu uang dua ratus ribu menyelamatkan urusannya di Rumah sakit Bhakti Yudha dan kini ia membalasnya dengan membawa saya ke rumah sakit cilandak untuk menyelamatkan nyawa .

Ibu Hajjah homsah, Bang Udin dan Pak Edi kini rutin saya kunjungi di jagakarsa, karena disana persaudaraan tercipta dari sebuah sedekah yang balasannya hanya ada pada hak Tuhan untuk menentukan kapan mengembalikannya.

Hingga kami saling kunjung sampai kini, tak pernah saya ungkapkan bahwa sayalah orang di Rumah Sakit Bhakti Yudha dulu. Ini untuk melenyapkan sikap “Ria” dan membiarkan persaudaraan berjalan tanpa masing masing membanggakan amal yang sudah diperbuatnya.

Cerita ini bukan bermaksud menyombongkan sedekah saya, namun bisa menjadi pelajaran bahwa sebuah sedekah dalam sebuah kesempitan akan berubah menjadi sebuah balasan kebaikan yang dahsyat pada suatu saat episode hidup kita.

Masya Allah!
(Oleh : Twins Father )

Celengan Sedekah

Celengan Sedekah
Punya celengan sedekah seru juga ternyata. Soalnya ga tiap ari kan kitanya keluar rumah? Kalo yang kerja ya senin-jum’at, bisa jadi sabtu-minggu di rumah aja. Yang entrepreneur lebih lowong lagi kan waktunya. Nah, akhir-akhir ini saya menyiasati untuk membikin celengan sedekah pribadi.

Hal ini juga bertujuan untuk membiasakan diri agar terlatih berbagi kepada sesama. Kalo sehari aja ga ngasih/memberi, rasanya gimanaaaa gitu :) Berapa pun duit di dompet. Lagi seret ato lagi banyak duit, tetep usahain isi celengannya. Ya kalo lagi banyak, sedekahnya juga dibanyakin..

Terus kalo udah kekumpul, gimana? Kalo udah kekumpul rada banyak, komporin orang se-rumah buat ikut serta ngisi celengannya. Habis itu bisa dikasi ke yang bantu-bantu di rumah. Bisa juga ke tempat-tempat yang jelas penyalurannya, seperti rumah zakat, pkpu, dompet dhuafa dan sebagainya. Tapi bukan berarti pas keluar rumah, mentang-mentang udah ada celengan sedekah di rumah, lalu ga sedekah. Selama ada peluang untuk berbagi, laksanakan! Toh, semuanya bakal kembali lagi ke kita, ga usah pake ragu, tul? Ayo, SEMANGAT SEDEKAH!!!
(oleh : Shona Ve )

Pengemis Tua dan Sepasang Mutiaranya

Pengemis Tua dan Sepasang Mutiaranya
“Minta sedekahnya den, seikhlasnya saja buat makan den…”, lirih suara itu terdengar diantara lalulalang jama’ah Masjid Kampus yang baru saja usai menunaikan sholat Jum’at.


Dua anak kecil kembar siam bertubuh kurus kering menatapku dengan pandangan sayup. Dengan ekspresi memelas keduanya kompak menyodorkan sebuah gelas air mineral bekas kepadaku. “Minta sedekahnya buat makan den…”, dengan kompak mereka ulangi kata-kata sakti itu.

Atas dasar kemanusiaan hatiku tergugah dan memberi mereka beberapa rupiah uang sepantasnya. Walau kutahu sebenarnya Perda setempat dengan tegas melarang masyarakat memberi uang kepada pengemis ataupun kaum gelandangan jalanan. Namun hati kecilku seperti berbisik, “Bukankah sebagai sesama makhluk Tuhan kita memang harus saling tolong-menolong dan menyayangi?”.

Setelah kukasih sedekah sepantasnya nampak kebahagiaan terpancar dari wajah polos mereka. Dengan wajah berseri-seri sepasang anak kembar siam itu berlari menghampiri seorang nenek tua yang juga sedang mengemis di sudut tangga luar masjid. Perlahan diam-diam kubuntuti langkah mereka.

“Nenek…nenek…. dik Safira sama dik Sahira dapet uang banyak nek…”, cerita mereka kepada sang nenek renta itu.

“Alhamdulillah ya nak, jangan lupa syukur sama Gusti Allah. Karena Dia-lah yang menggerakkan hati orang-orang agar bersedekah kepada kita”.

“Gusti Allah itu siapa nek?”, Tanya sepasang anak kembar siam itu dengan polosnya.

“Gusti Allah itu zat yang telah menciptakan kita semua. Zat yang mengatur hidup mati kita. Termasuk rejeki untuk nenek, dik Safira juga dik Sahira. Nenek yakin suatu saat nanti kalian pasti akan mengerti…”, dengan penuh kasih sayang nenek tua itu menjelaskan.


Diam-diam di salah satu anak tangga itu aku duduk termenung mendengarkan percakapan mereka bertiga yang nampak begitu hangat. Agar mereka tidak tersinggung aku pura-pura saja memainkan Handphone jadul kesayanganku.


Seminggu berlalu begitu cepat. Lagi-lagi aku berjumpa kembali dengan tiga pengemis itu. Begitu seterusnya, setiap hari Jumat aku selalu berjumpa dengan nenek tua dan sepasang pengemis kecil itu.

Rasa penasaran terus menghantui pikiranku. “Siapa nenek tua renta yang rutin mengemis di Masjid Kampus itu? Lalu siapa pula kedua anak kecil kembar siam yang sering menemaninya?”, pikiranku terus melayang.

Akhirnya kuputuskan untuk mengenal lebih dekat ketiga pengemis itu. Bagaimana keluarganya dan apa alasan mereka mengemis.

#Suatu hari Jumat masih di masjid yang sama

Usai sholat Jumat seperti biasa lagi-lagi aku berjumpa dengan nenek tua dan kedua anak kecil itu sedang mengemis. Momen yang tepat untuk memperoleh jawaban atas rasa penasaranku.

“Maaf sebelumnya nek…, saya lancang mengganggu sebentar. Kalau berkenan saya ingin ngobrol-ngobrol santai dengan nenek”.

“Oh ya silahkan saja mas, dengan senang hati…”

“Bisakah nenek ceritakan kepada saya apa alasan nenek memilih profesi sebagai pengemis?”

Lalu nenek tua itupun mencurahkan kisah hidupnya,

“Dari dalam hati nenek paling dalam sebenarnya nenek malu ngemis gini mas, tapi ya mau gimana lagi mas. Nggak ada pekerjaan lain yang bisa nenek lakuin. Nenek sudah lama ditinggal suami. Sekarang cuma sepasang mutiara itu yang nenek punyai.”, tutur nenek tua itu mengisahkan hidupnya.


“Wow sepasang mutiara?, itu mahal sekali kan nek”, cetusku.


“Ya, sepasang mutiara itu adalah dua anak kecil kembar ini. Safira dan Sahira namanya”, tutur sang nenek sambil mengelus rambut kedua putri kecil itu.

Aku agak bingung bercampur penasaran. Nenek tua itu melanjutkan kisahnya.

“Jadi begini ceritanya mas… kira-kira enam tahun yang lalu nenek menolong persalinan seorang mahasiswi yang hamil di luar nikah. Ia mahasiswi perantau dari Pulau sebrang yang terjebak dalam pergaulan bebas. Lelaki yang telah menghamilinya kabur entah kemana. Karena takut diketahui orangtuanya, ia berikan bayinya kepada nenek untuk selanjutnya dirawat. Dan bayi itu kini telah menjelma menjadi sepasang mutiara ini”, lanjut nenek menjelaskan.

“Demi merawat dan membesarkan kedua anak kembar ini nenek rela lakukan apa saja, termasuk mengemis dari masjid ke masjid, dari tempat ke tempat. Nenek ikhlas. Karena nenek yakin suatu saat nanti sepasang mutiara nenek ini akan menjadikan negeri ini bersinar lebih terang”, tutur nenek mengakhiri kisahnya.

Terjawab sudah rasa penasaranku. Banyak pelajaran yang aku petik dari kisah pengemis tua dan sepasang mutiaranya itu.

JOGJA 17-02-2012

Ekor yang Terputus

Ekor yang Terputus
Suatu hari di tepian parit sebuah desa, tampak seekor cicak kecil berusaha berlari menghidari sergapan ular yang sedang kelaparan. Rimbunnya rumput di sekitar situ membantu cicak menyelamatkan diri, tetapi usaha si cicak tidak bertahan lama...
Hup, ekor cicak pun tertangkap sang ular. Dengan kekuatan seadanya, cicak berupaya dan terus berjuang untuk meloloskan diri dari ular itu. Demi menyelamatkan nyawanya, cicak menggunakan upaya terakhir dengan memutuskan ekornya dan segera melarikan diri dengan berlari sekuat tenaganya.

Kebetulan kejadian itu dilihat oleh seorang petani. Karena merasa kasihan, berkatalah si petani kepada si cicak. "Hai cicak kecil, sungguh beruntung kamu bisa menyelamatkan diri dari santapan si ular. Namun sayang sekali ekormu harus terputus. Apakah kamu merasa sangat kesakitan?"

Dengan mata kecilnya, si cicak kecil menatap ke mata simpati si petani sambil menganggukkan kepalanya. Terlihat samar matanya berkaca-kaca.

Si petani tersentuh hatinya dan menawarkan bantuannya kepada cicak itu. "Kemarilah cicak, aku akan membantu membalut lukamu. Aku punya obat luka yang mujarab untuk menyembuhkan lukamu." Si petani lalu mengeluarkan sebungkus obat.

"Terima kasih, Pak Petani. Kami kaum cicak, biarpun kecil dan lemah tetapi telah dibekali oleh Yang Maha Kuasa kemampuan menyelamatkan diri dari bahaya dengan memutuskan ekor di saat yang genting. Walaupun kami merasakan kesakitan saat melakukan itu, tetapi secara alami, alam akan membantu menyembuhkan dan menumbuhkan ekor seperti semula.

Kebaikan hari Pak Tani membalut lukaku, justru akan menghambat pertumbuhan ekor baruku. Terima kasih atas kebaikan hatimu. Aku sendiri sangat bersyukur atas rasa sakit ini. Itu menyadarkan kepadaku bahwa aku harus lebih menghargai kehidupan ini dengan berjuang dan mensyukuri setiap hari yang masih tersisa untukku. Sekali lagi terima kasih dan sampai jumpa pak Tani," si cicak merangkak menjauh sambil memikul rasa sakit yang sangat. Jauh di dalam hatinya, cicak tahu, semua penderitaan ini hanyalah sebuah proses pendewasaan yang harus dilalui.

Kalau menghadapi kesulitan, cobaan, kita hanya bisa merengek, mengeluh minta dikasihani maka nasib tidak akan berubah menjadi lebih baik. Justru harus belajar keras pada diri sendiri untuk tetap tegak, tegar dalam menghadapi setiap masalah yang muncul di hadapan kita.
(Oleh : Andrie Wongso )

Pertolongan Sedekah Sepuluh Ribu Rupiah

Pertolongan Sedekah Sepuluh Ribu Rupiah
Menjelang shalat Isya, seorang wartawan duduk kelelahan di halaman sebuah masjid. Perutnya bertalu-talu karena keroncongan. Kepalanya clingak-clinguk mencari tukang jual makanan, tapi tak kunjung menemukannya. Dari wajahnya, tampak gurat-gurat kekecewaan.

Usut punya usut, si Wartawan ini tengah kecewa berat karena gagal bertemu dengan seorang tokoh yang hendak diwawancarai. Betapa tidak kecewa, sejak siang hari dia sudah "mengejar-ngejar" tokoh tersebut. Siang hari, mereka janji bertemu di sebuah kantor.

Beberapa saat sebelum waktu pertemuan itu berlangsung, tokoh penting ini mendadak membatalkan janji, ada acara mendadak katanya. Militansinya sebagai seorang wartawan untuk mendapatkan berita telah membuat pria muda ini mendatangi hotel tempat si Pejabat meeting. Dua jam lamanya, dia menunggu. Namun sial, si Pejabat itu keluar dari pintu samping hotel sehingga tidak sempat bertemu sang Wartawan.

Tidak mau patah arang, dia segera mencari tahu di mana keberadaan pejabat itu. Dia pun mendapatkan informasi bahwa orang yang dicarinya itu sudah pulang ke rumahnya di sebuah kompleks perumahan elite. Tanpa banyak berpikir, sang Wartawan tancap gas. Dengan motornya yang sudah agak butut, dia mendatangi perumahan tersebut. Walau harus tanya sana-tanya sini, akhirnya dia bisa sampai ke rumah si Pejabat.

"Aduh maaf, Mas, Bapaknya barusan pergi lagi. Ada pertemuan lagi katanya. Tapi, Bapak nggak bilang di mananya," kata si penghuni rumah.

Lunglailah kaki si Wartawan. Dia pun pergi. Berkali-kali dia coba mengontak si pejabat, tetapi berkali-kali pula ponselnya tidak diangkat. Sudah terbayang di benaknya kalau nanti malam dia akan ditegur atasannya karena tidak mampu mendapatkan berita. Perutnya yang keroncongan seakan menambah derita.

Saat duduk di masjid itulah, dia melihat seorang kakek yang baru saja menunaikan shalat maghrib. Dipandanginya kakek itu. Tampangnya sangat tidak meyakinkan: tinggi, kurus, jambang putihnya tidak terurus, pakaiannya sangat sederhana dan sudah luntur warnanya, sandal jepitnya pun sudah butut.

Kakek itu menghampiri sebuah tanggungan kayu bakar. Lalu, mengambil topi dan duduk melepas lelah takjauh dari tempat si Wartawan. Kerutan wajahnya yang hitam terbakar matahari seakan tampak makin mengerut karena kelelahan.

"Cep, peryogi suluh henteu? Peserlah suluh anu Bapa, ieu ti enjing-enjing teu acan pajeng!" kata Pak Tua kepada si Wartawan. Maksudnya, dia menawarkan kayu bakar yang dibawanya karena sejak dari pagi tidak laku-laku.

"Punten Bapa, abdi di Bumi teu nganggo suluh (Maaf Bapak, saya di rumah tidak menggunakan kayu bakar)," jawabnya.

"Oh muhun, teu sawios. Mangga atuh, Bapa tipayun, (Oh iya, nggak apa-apa. Kalau begitu permisi, Bapak duluan)," ujar Pak Tua penjual kayu bakar itu.

Sebelum Pak Tua itu pergi, si Wartawan segera mengambil dompet. Dilihatnya hanya ada uang sepuluh ribu, satu-satunya, plus beberapa keping uang receh. Itulah hartanya yang tersisa pada hari itu untuk makan dan membeli bensin. Namun, semua itu dia abaikan. Dia berikan uang sepuluh ribu itu kepada Pak Tua. Walau awalnya menolak, tapi akhirnya dia menerimanya pula.

Sambil menahan tangis haru, Pak Tua berkata, "Hatur nuhun Kasep, tos nulungan Bapak. Mugi-mugi Gusti Alloh ngagentosan kunu langkung ageung (Terima kasih, Cakep, sudah menolong Bapak, semoga Gusti Allah menggantinya dengan yang lebih besar)." Ternyata, Bapak ini sejak pagi belum makan dan tidak punya uang untuk pulang.

Selembar sepuluh ribu telah mengubah segalanya. Dia te-lah sudi memasukkan rasa bahagia kepada saudaranya yang tengah kesusahan, Allah Swt. pun langsung membalasnya dengan memasukkan rasa bahagia yang berlipat-lipat ke dalam hatinya.

Rasa lapar, penat, dan hati dongkol yang sebelumnya mendominasi dirinya langsung hilang sirna berganti kelapangan dan kebahagiaan. Uang sepuluh ribu itu benar-benar memberikan kepuasan yang sensasinya sulit terlupakan. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain dari tetesan air mata bahagia. "Terima kasih, ya Allah, engkau telah memberiku rezeki sehingga bisa berbagi," gumamnya.

Tak lama kemudian, datanglah karunia yang kedua. Ponselnya tiba-tiba berbunyi, dilihatnya sebuah pesan dari atasannya kalau dia tidak perlu lagi mengejar si Pejabat karena ada narasumber lain yang lebih kompeten yang siap diwawancara seorang rekannya. Dia hanya memberi penugasan untuk meliput sebuah acara syukuran di salah satu hotel berbintang.

Karunia Allah yang ketiga pun segera datang. Di sela-sela acara liputan di hotel itu, sang Wartawan dipersilakan oleh panitia untuk menikmati hidangan mewah yang tersedia sepuasnya. Menjelang pulang, dia mendapatkan sebuah doorprize dan beberapa buah bingkisan sebagai ucapan terima kasih dari pihak penyelenggara. "Malam yang indah ...," ujarnya.

Kisah Sebatang Bambu

Kisah Sebatang Bambu
Sebatang bambu yang indah tumbuh di halaman rumah seorang petani. Batang bambu ini tumbuh tinggi menjulang di antara batang-batang bambu lainnya.

Suatu hari datanglah sang petani yang memiliki pohon bambu itu. Dia berkata kepada batang bambu," Wahai bambu, maukah engkau kupakai untuk menjadi pipa saluran air, yang sangat berguna untuk mengairi sawahku?"

Batang bambu menjawabnya, "Oh tentu aku mau bila dapat berguna bagi engkau, Tuan. Tapi ceritakan apa yang akan kau lakukan untuk membuatku menjadi pipa saluran air itu."

Sang petani menjawab, "Pertama, aku akan menebangmu untuk memisahkan engkau dari rumpunmu yang indah itu. Lalu aku akan membuang cabang-cabangmu yang dapat melukai orang yang memegangmu. Setelah itu aku akan membelah-belah engkau sesuai dengan keperluanku. Terakhir aku akan membuang sekat-sekat yang ada di dalam batangmu, supaya air dapat mengalir dengan lancar. Apabila aku sudah selesai dengan pekerjaanku, engkau akan menjadi pipa yang akan mengalirkan air untuk mengairi sawahku sehingga padi yang kutanam dapat tumbuh dengan subur."

Mendengar hal ini, batang bambu lama terdiam....., kemudian dia berkata kepada petani, "Tuan, tentu aku akan merasa sangat sakit ketika engkau menebangku. Juga pasti akan sakit ketika engkau membuang cabang-cabangku, bahkan lebih sakit lagi ketika engkau membelah-belah batangku yang indah ini, dan pasti tak tertahankan ketika engkau mengorek-ngorek bagian dalam tubuhku untuk membuang sekat-sekat penghalang itu. Apakah aku akan kuat melalui semua proses itu, Tuan?"

Petani menjawab batang bambu itu, " Wahai bambu, engkau pasti kuat melalui semua itu, karena aku memilihmu justru karena engkau yang paling kuat dari semua batang pada rumpun ini. Jadi tenanglah."

Akhirnya batang bambu itu menyerah, "Baiklah, Tuan. Aku ingin sekali berguna bagimu. Ini aku, tebanglah aku, perbuatlah sesuai dengan yang kau kehendaki."

Setelah petani selesai dengan pekerjaannya, batang bambu indah yang dulu hanya menjadi penghias halaman rumah petani, kini telah berubah menjadi pipa saluran air yang mengairi sawahnya sehingga padi dapat tumbuh dengan subur dan berbuah banyak.

Pernahkah kita berpikir bahwa dengan masalah yang datang silih berganti tak habis-habisnya, mungkin Allah sedang memproses kita untuk menjadi indah dihadapan-Nya? Sama seperti batang bambu itu, kita sedang ditempa, Allah sedang membuat kita sempurna untuk di pakai menjadi penyalur berkat. Dia sedang membuang kesombongan dan segala sifat kita yang tak berkenan bagi-Nya. Tapi jangan kuatir, kita pasti kuat karena Allah tak akan memberikan beban yang tak mampu kita pikul.
(Oleh : arum )
Foto: Sebatang Bambu Sebatang bambu yang indah tumbuh di halaman rumah seorang petani. Batang bambu ini tumbuh tinggi menjulang di antara batang-batang bambu lainnya. Suatu hari datanglah sang petani yang memiliki pohon bambu itu. Dia berkata kepada batang bambu," Wahai bambu, maukah engkau kupakai untuk menjadi pipa saluran air, yang sangat berguna untuk mengairi sawahku?" Batang bambu menjawabnya, "Oh tentu aku mau bila dapat berguna bagi engkau, Tuan. Tapi ceritakan apa yang akan kau lakukan untuk membuatku menjadi pipa saluran air itu." Sang petani menjawab, "Pertama, aku akan menebangmu untuk memisahkan engkau dari rumpunmu yang indah itu. Lalu aku akan membuang cabang-cabangmu yang dapat melukai orang yang memegangmu. Setelah itu aku akan membelah-belah engkau sesuai dengan keperluanku. Terakhir aku akan membuang sekat-sekat yang ada di dalam batangmu, supaya air dapat mengalir dengan lancar. Apabila aku sudah selesai dengan pekerjaanku, engkau akan menjadi pipa yang akan mengalirkan air untuk mengairi sawahku sehingga padi yang kutanam dapat tumbuh dengan subur." Mendengar hal ini, batang bambu lama terdiam....., kemudian dia berkata kepada petani, "Tuan, tentu aku akan merasa sangat sakit ketika engkau menebangku. Juga pasti akan sakit ketika engkau membuang cabang-cabangku, bahkan lebih sakit lagi ketika engkau membelah-belah batangku yang indah ini, dan pasti tak tertahankan ketika engkau mengorek-ngorek bagian dalam tubuhku untuk membuang sekat-sekat penghalang itu. Apakah aku akan kuat melalui semua proses itu, Tuan?" Petani menjawab batang bambu itu, " Wahai bambu, engkau pasti kuat melalui semua itu, karena aku memilihmu justru karena engkau yang paling kuat dari semua batang pada rumpun ini. Jadi tenanglah." Akhirnya batang bambu itu menyerah, "Baiklah, Tuan. Aku ingin sekali berguna bagimu. Ini aku, tebanglah aku, perbuatlah sesuai dengan yang kau kehendaki." Setelah petani selesai dengan pekerjaannya, batang bambu indah yang dulu hanya menjadi penghias halaman rumah petani, kini telah berubah menjadi pipa saluran air yang mengairi sawahnya sehingga padi dapat tumbuh dengan subur dan berbuah banyak. Pernahkah kita berpikir bahwa dengan masalah yang datang silih berganti tak habis-habisnya, mungkin Allah sedang memproses kita untuk menjadi indah dihadapan-Nya? Sama seperti batang bambu itu, kita sedang ditempa, Allah sedang membuat kita sempurna untuk di pakai menjadi penyalur berkat. Dia sedang membuang kesombongan dan segala sifat kita yang tak berkenan bagi-Nya. Tapi jangan kuatir, kita pasti kuat karena Allah tak akan memberikan beban yang tak mampu kita pikul. (Oleh : arum )

Dia adalah Suamiku 15 tahun yang Lalu

Dia adalah Suamiku 15 tahun yang Lalu
Cerita sepasang suami istri yang sedang menikmati hidup baru malam pengantin di rumah mereka sendiri.
Ketika mereka berdua sedang asyik makan malam, tiba-tiba pintu diketuk seseorang yang tampaknya benera-benar meminta pertolongan. Orang itu dalam keadaan lapar, ingin minta makan atau paling tidak minta minum.

Si Suami berkata dari dalam rumah," Siapa sih malam-malam mengganggu orang yang mau istirahat?" Dia nampak kesal dan marah. Istrinya bangkit dan membuka pintu. Dari balik pintu istrinya mendengar seseorang sedang minta makan. Kemudian dia mendekati suaminya dan berkata," Bang, di luar ada seseorang sedang meminta makan." Suaminya bangkit dan keluar sambil marah-marah. Dipukulnya peminta-minta itu sambil diumpat habis-habisan dan berkata."Menganggu orang yang lagi menikmati malam pengantin, nggak tahu malu, masih muda minta-minta, malam-malam begini lagi. Pergi kamu, kalau tidak segera pergi akan saya hajar kamu !!."

Lapar yang menghinggapi orang itu mengalahkan rasa sakit hatinya. Dengan ikhlas dia pergi meninggalkan rumah kedua mempelai baru itu. Sementara itu, sang Suami entah memang sedang kerasukan setan atau kemasukan Jin tidaklah jelas, dia semakin menjadi-jadi marahnya dan lupa diri. Malam itu juga dia pergi meninggalkan istrinya dan pergi entah kemana tidak jelas yang dituju.

Lima belas tahun sudah lamanya si Istri tidak pernah tahu keberadaan si Suami yang pergi tanpa jejak. Istri dengan sabar menanti kedatangannya, tetapi si Suami tidak pernah ada beritanya.

Suatu saat si Sitri bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatinya. Begitu juga dengan hati pemuda itu, dia tertarik dengan paras dan kecantikan serta tindak tanduknya yang cenderung sopan dan lemah lembut. Akhirnya hubungan mereka direstui oleh orang tua si Janda tersebut dan berkelanjutan dengan pernikahan.
Di malam pertama mereka, pada saat mereka berdua makan malam diselingi canda tawa, sesekali bunyi rengekan manja dari pengantin perempuan. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan adanya suara dari luar, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah mereka. Sang Suami berkata kepada istrinya. "Coba kamu lihat siapa dan apa maksudnya Bu.?". Sang istri berjalan mendekati pintu. Dari balik pintu dia memandangi orang itu dan bertanya kemudian kembali ke arah suaminya dan berkata. "Dia adalah orang yang meminta makan." Maka dengan segera Sang Suami mengangkat makanan yang baru saja mereka cicipi itu dan diserahkan kepada istrinya. ."Berikan ini semua kepada Dia, biarkan dia makan sampai kenyang dan kita makan yang ada ini saja." Istrinyapun mengangkat makanan itu dan menyerahkan kepada orang yang berada di liuar rumah.

Sesudah itu sang Istri kembali masuk ke dalam rumah. tetapi kali ini terlihat wajahnya sayu, Dia malahan menangis meneteskan air mata. Sang Suami kebingungan dan berkata."Kepana kamu menangis? apakah makanan ini tidak cukup buat kita berdua?: biarkan saja orang itu bahagia Bu, atau jangan-jangan orang itu malah menghina kamu?" Dengan linangan air mata, sang Istri selalu menjawab "tidak". dalam semua pertanyaan suaminya. "Lalu kenapa kamu menangis..?" tanya Suaminya lagi. Akhirnya sang Istri menjawab.."Laki-laki yang sekarang sedang makan di sepan rumah kita ini, dia adalah suamiku 15 tahun yang lalu. Saat itu kami sedang menikmati malam pengantin dan makan bersama. tiba-tiba datang seseorang yang mengetuk pintu dan meminta makan. Suamiku merasa terganggu, Dia tidak memberinya makanan, Dia marah-marah dan memukulnya. Kemarahannya semakin menjadi-jadi hingga dia seperti kesetanan. Sesudah itu dia pergi dan tidak tahu beritanya dan sekarang ada di depan kita Bang...."

Mendengar cerita istrinya sang Suami mendadak berubah wajahnya, matanya berkaca-kaca mengeluarkan air mata dan sesekali terdengar isak tangis kecil. Istrinya yang akhrinya jadi bingung dan bertanya. " Apa yang membuat Abang menangis,,?" Suaminya kemudian menjawab. " Tahukah istriku, siapa orang yang dulu dipukul dan diusir Suamimu 15 tahun yang lalu..?" Istrinya balik bertanya.."Siapa dia Bang..""Dia adalah aku, maka janganlah kamu pelit dan bakhil terhadap orang miskin, sangat mungkin suatu saat kamu akan bisa mengalami nasib yang sama.." Suaminya akhirnya menjawab.. Istrinya kaget bukan kepalang. Dua suami yang berdiri dihadapannya, mantan Suami yang telah menjadi fakir dan matan peminta-minta yang telah menjadi suaminya sekarang. Subhanalloh..........
(oleh : donkissotes )

Foto: Dia adalah Suamiku 15 tahun yang Lalu Cerita sepasang suami istri yang sedang menikmati hidup baru malam pengantin di rumah mereka sendiri. Ketika mereka berdua sedang asyik makan malam, tiba-tiba pintu diketuk seseorang yang tampaknya benera-benar meminta pertolongan. Orang itu dalam keadaan lapar, ingin minta makan atau paling tidak minta minum. Si Suami berkata dari dalam rumah," Siapa sih malam-malam mengganggu orang yang mau istirahat?" Dia nampak kesal dan marah. Istrinya bangkit dan membuka pintu. Dari balik pintu istrinya mendengar seseorang sedang minta makan. Kemudian dia mendekati suaminya dan berkata," Bang, di luar ada seseorang sedang meminta makan." Suaminya bangkit dan keluar sambil marah-marah. Dipukulnya peminta-minta itu sambil diumpat habis-habisan dan berkata."Menganggu orang yang lagi menikmati malam pengantin, nggak tahu malu, masih muda minta-minta, malam-malam begini lagi. Pergi kamu, kalau tidak segera pergi akan saya hajar kamu !!." Lapar yang menghinggapi orang itu mengalahkan rasa sakit hatinya. Dengan ikhlas dia pergi meninggalkan rumah kedua mempelai baru itu. Sementara itu, sang Suami entah memang sedang kerasukan setan atau kemasukan Jin tidaklah jelas, dia semakin menjadi-jadi marahnya dan lupa diri. Malam itu juga dia pergi meninggalkan istrinya dan pergi entah kemana tidak jelas yang dituju. Lima belas tahun sudah lamanya si Istri tidak pernah tahu keberadaan si Suami yang pergi tanpa jejak. Istri dengan sabar menanti kedatangannya, tetapi si Suami tidak pernah ada beritanya. Suatu saat si Sitri bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatinya. Begitu juga dengan hati pemuda itu, dia tertarik dengan paras dan kecantikan serta tindak tanduknya yang cenderung sopan dan lemah lembut. Akhirnya hubungan mereka direstui oleh orang tua si Janda tersebut dan berkelanjutan dengan pernikahan. Di malam pertama mereka, pada saat mereka berdua makan malam diselingi canda tawa, sesekali bunyi rengekan manja dari pengantin perempuan. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan adanya suara dari luar, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah mereka. Sang Suami berkata kepada istrinya. "Coba kamu lihat siapa dan apa maksudnya Bu.?". Sang istri berjalan mendekati pintu. Dari balik pintu dia memandangi orang itu dan bertanya kemudian kembali ke arah suaminya dan berkata. "Dia adalah orang yang meminta makan." Maka dengan segera Sang Suami mengangkat makanan yang baru saja mereka cicipi itu dan diserahkan kepada istrinya. ."Berikan ini semua kepada Dia, biarkan dia makan sampai kenyang dan kita makan yang ada ini saja." Istrinyapun mengangkat makanan itu dan menyerahkan kepada orang yang berada di liuar rumah. Sesudah itu sang Istri kembali masuk ke dalam rumah. tetapi kali ini terlihat wajahnya sayu, Dia malahan menangis meneteskan air mata. Sang Suami kebingungan dan berkata."Kepana kamu menangis? apakah makanan ini tidak cukup buat kita berdua?: biarkan saja orang itu bahagia Bu, atau jangan-jangan orang itu malah menghina kamu?" Dengan linangan air mata, sang Istri selalu menjawab "tidak". dalam semua pertanyaan suaminya. "Lalu kenapa kamu menangis..?" tanya Suaminya lagi. Akhirnya sang Istri

menjawab.."Laki-laki yang sekarang sedang makan di sepan rumah kita ini, dia adalah suamiku 15 tahun yang lalu. Saat itu kami sedang menikmati malam pengantin dan makan bersama. tiba-tiba datang seseorang yang mengetuk pintu dan meminta makan. Suamiku merasa terganggu, Dia tidak memberinya makanan, Dia marah-marah dan memukulnya. Kemarahannya semakin menjadi-jadi hingga dia seperti kesetanan. Sesudah itu dia pergi dan tidak tahu beritanya dan sekarang ada di depan kita Bang...." Mendengar cerita istrinya sang Suami mendadak berubah wajahnya, matanya berkaca-kaca mengeluarkan air mata dan sesekali terdengar isak tangis kecil. Istrinya yang akhrinya jadi bingung dan bertanya. " Apa yang membuat Abang menangis,,?" Suaminya kemudian menjawab. " Tahukah istriku, siapa orang yang dulu dipukul dan diusir Suamimu 15 tahun yang lalu..?" Istrinya balik bertanya.."Siapa dia Bang..""Dia adalah aku, maka janganlah kamu pelit dan bakhil terhadap orang miskin, sangat mungkin suatu saat kamu akan bisa mengalami nasib yang sama.." Suaminya akhirnya menjawab.. Istrinya kaget bukan kepalang. Dua suami yang berdiri dihadapannya, mantan Suami yang telah menjadi fakir dan matan peminta-minta yang telah menjadi suaminya sekarang. Subhanalloh.......... (oleh : donkissotes )

Kisah Tauladan Onta Abdullah

Kisah Tauladan Onta Abdullah
Abdullah adalah seorang ayah yang mempunyai 3 orang anak. Mereka hidup bahagia dan mempunyai beberapa onta yang selama ini bisa dijadikan sumber penghidupan sehari-hari. Suatu hari diketahui bahwa ada tetangganya yang lebih membutuhkan uluran tangannya karena keluarga tersebut tidak mempunyai onta seperti keluarga mereka yang dapat dijadikan sebagai sumber penghidupan sehari-hari. Abdullah tersentuh hatinya apabila melihat ketulusan dan kesholehan tetangganya itu. Akhirnya Abdullah memberikan onta terbaiknya tersebut kepada tetengganya itu karena dia teringat pesan dalam Al Qur'an bahwa memberi hendaklah yang paling bagus dan paling disayangi. Onta yang diberikan yang benar-benar paling bagus dan harganya yang paling mahal. Dan mulai saat itu kehidupannya tetanganya dapat terbantu karena onta yang diberikan Abdullah benar-benar sangat melimpah susunya sehingga anak-anaknyapun dapat terpenuhi kebutuhannya.

Pada suatu waktu ketika musim panas tiba dan semua orang berlomba-lomba mencari sumber air untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan ternaknya. Mereka mencari air di goa-goa atau di tempat-tempat yang curam dan sulit dijangkau dengan cara biasa, karena sumber air biasanya memang keluar dari tempat-tempat tertentu saja.
Dari kondisi yang seperti itu membuat keluarga Abdullah dan 3 anaknya berangkat mencari sumber air. Mereka berjalan menyusuri padang pasir dan mengamati tempat-tempat yang dimungkinkan di sana ada tersimpan air. Akhirnya mereka menemukan tempat yang diyakini bahwa ada ada sumber air akan tetapi jauh di bawah goa. Maka turunlah Abdullah ke dalam goa yang gelap gulita dan jalannya berliku-liku. Sementara itu sang anak memanggil-manggil ayahnya. Mulanya masih terdengar jawaban ayahnya saat dipanggil tapi lama kelamaan tidak ada jawaban lagi. Anak-anaknya masih tetap menunggu sampai lewat tengah malam dan terus memanggil manggilnya, tetapi tidak terdengar lagi jawaban.

Menjelang pagi hari, ketiga anaknya mulai menduga-duga jangan-jangan ayahnya telah meninggal dunia dan dimangsa binatang goa. Akhirnya mereka bertiga pulang ke rumah dengan keyakinan bahwa sang ayah telah meninggal dunia.

Tiga hari kemudian ketiga anaknya mulai menghitung-hitung harta warian peninggalan ayahnya. Akhirnya mereka jadi teringat kepada onta yang pernah diberikan ayahnya kepada teangganya itu. Dia merasa bahwa onta terbaik yang telah diberikan ayahnya kepada tetanganya dapat dijadikan andalan untuk sumber susunya.
Akhirnya mereka sepakat akan meminta kembali onta tersebut dan menggantinya dengan anak onta yang harganya paling murah. Benar, mereka mendatangi tetangganya itu dan mengambil onta yang banyak susunya pemberian dari ayahnya dan ditukar dengan anak onta yang harganya murah dan susunya sedikit.

Kepada anak-anaknya itu, tetangga itu bertanya : "Mengapa pemberian ayahmu kamu minta kembali ?"
"Itu adalah hak kami, kami sebenarnya tidak setuju."Anak-anak itu menjawab :
"Kami sangat menghormati orang tua saya" begitu anak-anaknya menambahkan.
"Lalu sekarang ayah kamu dimana? " Tanya tetangganya itu.

Anak-anak itu mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal dunia pada saat bersama-sama mengambil air di goa. Mendengar cerita anak-anaknya itu akhirnya tetangga yang pernah diberi onta itu meminta ditunjukan tempat dimana ayahnya hilang. Maka ditunjukannyalah tempat dimana arah tempat dan tanda-tanda ayah mereka hilang. Kemudian tetangga itu berangkat sendirian tanpa ditemani anak-anak itu.

Setelah ditemukan tempatnya sesuai dengan tanda dan arah yang ditunjukan anak-anak itu, tetangga Abdullah itu turun dan masuk melewati lorong-lorong goa yang jauh berliku-liku. Dengan membawa obor api, tetangga itu menemukan Abdullah dalam keadaan buta matanya karena terkena benturan batu. Kemudian Adullah dipapah keluar dari goa dan selamat sampai di atas. Tetangga itu bertanya "Bagaimana Anda bisa bertahan hidup selama 2 minggu dalam goa yang gelap gulita dan tidak ada makanan sama sekali ?".

Abdullah menjawab "Setiap kali saya lapar, yaitu tiga kali dalam sehari, tangan saya meraba-raba ke sekeliling tempat di mana saya duduk, saya mendapatkan genangan air lalu saya minum dan ...ternyata adalah air susu segar seperti baru saja diperah, itu mungkin yang membuat saya bugar dan sehat. Saya tidak tahu dari mana datangnya susu itu karena tempat di mana saya duduk adalah kering dan bebatuan. Tetapi aneh, sejak tiga hari yang lalu saya tidak lagi mendapatkan susu itu, saya hanya mendapatkan air. Karena hanya minum air, maka badan saya menjadi lemas dan tidak bertenaga lagi."

Tetangga itupun menangkap hikmah penting dari apa yang telah diceritakan oleh Abdullah. Maka diapun akhirnya menceritakan apa yang telah dirasakan dan terjadi dengan kelakuan anak-anak Abdullah. "Bahwa onta yang diberikan Bapak waktu itu benar-benar menghasilkan susu yang luar biasa banyaknya dan bermanfaat bagi banyak keluarga. Karena itulah Alloh SWT mengirim susu untuk Bapak. Tetapi sejak tiga hari yang lalu onta yang diberikan Bapak itu telah diambil kembali oleh anak-anak Bapak dan diganti dengan anak onta, mungkin itulah, Bapak tidak lagi menikmati susu dalam goa."

Mereka berdua segera meninggalkan tempat itu dan menuju desa terdekat untuk menyembuhkan mata Abdullah yang bengkak menutup kelopak matanya dan baru sore harinya pulang ke rumah. Sampai di rumah, Abdullah bertanya kepada anak-anaknya " Mengapa kamu semua tidak mencari ayah, kamu menganggap ayahmu sudah mati, tapi justru tetangga kita yang mencari dan menolong Ayah .?" Mereka bertigapun menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Abdullah memaafkan kesalahan ketiga anaknya itu, tetapi Abdulllah telah berketetapan hati bahwa hartanya yang setengah akan diberikan kepada tetangganya yang hatinya lebih baik dari pada anaknya sendiri dan sisa yang setengah lagi diberikan kepada ke tiga anak-anaknya.
(oleh:donkissotes)

Saya Harus Membuang Air Susu Saya Bu ....

Saya Harus Membuang Air Susu Saya Bu ....
Kisah ini didapatkan dari Riyadh Saudi Arabia. Di sebuah desa Huraimla, ada seorang wanita yang sudah dinyatakan oleh Dokter terkena kanker darah, kondisi fisiknya sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Untuk merawat dirinya dan memenuhi semua keperluannya, dia mendatangkan pembantu dari Indonesia. Pembantu ini adalah seorang wanita yang taat beragama.

Satu minggu setelah bekerja, Majikan merasa pekerjaannya dianggap bagus. Majikan wanita selalu memperhatikan apa yang dia kerjakan. Suatu waktu si Majikan memperhatikan kelakukan aneh si pembantu. Pembantunya ini sering sekali ke kamar mandi dan berdiam cukup lama. Dengan tutur kata yang lemah lembut si Majikan bertanya." Apa yang sebenarnya engkau lakukan di kamar mandi..?" Pembantu itu tidak menjawab, tetapi justru menangis tersedu-sedu. Si Majikan menjadi iba dan kemudian menghiburnya sambil menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya Pembantunya itupun bercerita bahwa dirinya baru 20 hari melahirkan anaknya. Karena desakan ekonomi itulah dia terpaksa berangkat bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. "Saya harus membuang air susu saya Bu, kalau tidak dibuang dada saya terasa sesak dan penuh karena tidak disusu oleh anak saya. " Air susu yang menumpuk dan tidak tersalurkan itulah yang membuatnya sakit sehingga harus diperas dan dibuang di kamar mandi.

"Subhanalloh, Anda berjuang untuk anak dan keluarga Anda," Kata majikan. Ternyata Majikannya tidak seburuk seperti yang diceritakan di koran-koran atau televisi. Seketika itu juga si majikan memberikan gajinya secara penuh selama 2 tahun sesuai dengan akad kontraknya dan memberikannya tiket pulang.
"Kamu pulanglah dulu, uang sudah saya berikan penuh untuk 2 tahun kontrakmu, kamu susui anakmu secra penuh selama 2 tahun dan jika kamu igin kembali bekerja kamu mengubungi telepon ini sekaligus saya akan mengirim uang untuk tiket keberangkatanmu.". "Subhanalloh, apa Ibu tidak apa-apa saya tinggal..?" Kenangnya dalam hati. Si Majikan waktu itu hanya menggelengkan kepala bahwa apa yang kamu tinggal lebih berharga dari pada mengurus saya.

Setelah pembantu itu pulang, majikan mengalami perubahan luar bisa. Pikirannya menjadi terfokus pada kesembuhan dan hatinya menjadi sangat senang karena dapat membantu orang yang sedang kesulitan.
Hari-harinya tidak lagi memikirkan sakitnya lagi, yang ada hanyalah rasa bahagia. Sebulan kemudian dia baru kembali lagi ke rumah sakit untuk kontrol. Dokter yang menanganinya segera melakukan pemeriksaaan mendetail. Tapi apa yang terjadi..? Dokter yang menangani awal tidak melihat ada penyakit seperti diagnosa sebelumnya. Dia tidak melihat ada penyakit kanker darah yang diderita pasiennnya. Dokter itu terkagum-kagum, bagaimana mungkin bisa sedasyat dan secepat itu penyakitnya bisa sembuh, apalagi kanker darah. Apa telah terjadi salah diagnosa..???.

Akhirnya Dokter itupun bertanya, apa sebenanrnya yang telah dilakukan oleh pasien. Wanita itupun menjawab,, " Saya tidak melakukan apa-apa dengan sakit saya, mungkin sedekah yang telah saya lakukan ke pembantu saya telah membantuku sembuh, nyatanya setelah saya menolong hati saya menjadi lebih bergairah untuk sembuh dan hidup, saya mempunyai pembantu yang sedang menyusui anaknya tapi susu itu tidak dapat disalurkan dan harus dibuang di kamar mandi, Saya menangis apabila mengingat akan keadaannya, akhirnya pembantu itu saya suruh pulang agar bisa menyalurkan air sususnya dan dia sehat dan anaknya juga bisa sehat. mungkin dengan itu akhirnya sakit saya sembuh Dokter .,," Dokter itupun akhirnya tersadar, bahwa diagnosa dan sakit apapun bisa sembuh karena Alloh SWT memang menghendakinya,
(Oleh : donkissotes )

Senin, 09 Juli 2012

Senyum Adalah Sedekah

Rasulullah SAW bersabda bahwa anak keturunan Adam memiliki kewajiban untuk bersedekah setiap harinya sejak matahari mulai terbit.

Seorang sahabat yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya, “Jika kami ingin bersedekah, namun kami tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami sedekahkan dan bagaimana kami menyedekahkannya?”

Rasulullah SAW bersabda, “Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah.” (HR Tirmizi dan Abu Dzar).

Dalam hadis lain disebutkan bahwa senyum itu ibadah, “Tersenyum ketika bertemu saudaramu adalah ibadah.” (HR Trimidzi, Ibnu Hibban, dan Baihaqi).

Salah seorang sahabat, Abdullah bin Harits, pernah menuturkan tentang Rasulullah SAW, “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah SAW.” (HR Tirmidzi).

Meskipun ringan, senyum merupakan amal kebaikan yang tidak boleh diremehkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu.” (HR Muslim).

Mungkin kita sering berpikir bahwa sedekah itu berkaitan erat dengan harta benda seperti pemberian uang, pakaian, atau apa pun yang bisa langsung dinikmati penerima dalam bentuk materi. Hal itu juga mungkin yang ada dalam pikiran para sahabat Rasulullah SAW, sehingga mereka sangat gelisah kemudian mempertanyakannya.

Karena itu, tidak semestinya seorang Muslim membiarkan satu hari pun berlalu tanpa dirinya terlibat dalam kegiatan bersedekah. Jika kita punya wawasan sempit mengenai pengertian bersedekah, tentulah hal itu menjadi mustahil.
Di antara keistimewaan sedekah adalah menolak bala (musibah).

(Republika)

Kisah Antara Uang Rp. 1.000 Dan Rp. 100.000

Kisah Antara Uang Rp. 1.000 Dan Rp. 100.000
Kisah uang Rp 1000 dan Rp 100.000. Uang Rp 1000 & Rp 100.000 sama2 terbuat dari kertas, sama2 dicetak & diedarkan oleh BI. Suatu ketika secara bersamaan mereka keluar dan berpisah dari Bank dan beredar Di masyarakat, 4 bulan kemudian mereka bertemu lg secara tdk sengaja didlm dompet seorang pemuda. Kemudian Di antara kedua uang tsb terjadilah percakapan.

Yg Rp 100.000 bertanya kpd Rp 1000, "Knp badan km begitu lusuk, kotor dan bau amis?"

Rp. 1.000 menjawab, "Karena aku begitu keluar dari Bank langsung Di tangan orang2 bawahan dari tukang becak, tukang sayur, penjual ikan dan ditangan pengemis"

Lalu Rp.1000.bertanya balik kpd Rp 100.000, "Knp km kelihatan begitu baru, rapi dan masih bersih?"

Dijawabnya, "Karena begitu aku keluar dari Bank, langsung disambut perempuan cantik, & beredarnyapun di restoran mahal, di mall & juga hotel2 berbintang serta keberadaanku selalu dijaga dan jarang keluar dari dompet"

Lalu Rp 1000 bertanya lagi, "Pernahkah engkau mampir di tempat ibadah?"

Dijawablah, "Belum pernah"

Rp 1000 pun berkata lagi, "Ketahuilah walaupun aku hanya Rp 1.000, tetapi aku selalu mampir di rumah IBADAH dan di tangan anak anak yatim, bahkan aku selalu bersyukur dalam hidup ini. Aku tdk dipandang bukan sebuah nilai, tetapi adalah sebuah manfaat" Akhirnya menangislah Rp 100.000 karena merasa besar, hebat, tinggi tetapi tdk begitu bermanfaat selama ini.

Muliakan Orangtua, Allah Berikan Jalan-Nya

Muliakan Orangtua, Allah Berikan Jalan-Nya
SEBAGAI seorang anak, berbakti kepada orangtua adalah sebuah keharusan. Namun kadang tak mudah melaksanakannya.

Suatu hari, tepatnya September 2005, saya menerima kabar bahwa orangtua membutuhkan uang cukup banyak. Mau memperbaiki rumah yang atapnya sudah bocor di sana sini.

Berita itu saya simpan dalam memori otak. Sore harinya saya bicarakan dengan istri.

“Bagaimana ini?” tanyaku pada istri dengan tenang.

Saat itu kami baru pindahan rumah dari Tegal ke Brebes (Jawa Tengah). Kondisi keuangan masih kocar-kacir. Namun keputusan akhir, kami akan tetap membantu orangtua, meskipun harus “menyembelih” celengan ayam jago yang belum seberapa terisi.

Setelah dihitung lembar demi lembar, alhamdulillah terkumpul Rp 250 ribu. Masih jauh dari kebutuhan orangtua yang mencapai Rp 600 ribu.

Uang itu saya sampaikan kepada orangtua apa adanya. Beliau menerima dengan baik.

Tiga bulan kemudian, datang lagi berita, kali ini dari mertua. Isinya serupa: membutuhkan uang untuk keperluan menikahkan anaknya.

Setelah bermusyawarah dengan istri, kami menetapkan untuk tetap birrul-waalidain (memuliakan kedua orangtua), meski saat itu belum ada uang sepeser pun!

Saat itu saya tengah merintis usaha ternak ayam. Sayang, ambruk karena habis dimakan binatang buas.

Syukurnya, saya punya kegiatan mengajar, sementara istri mengajar di rumah. Di sinilah awal terbukanya pintu-pintu rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kami berusaha mengencangkan ikat pinggang, menyisihkan uang Rp 50 ribu untuk ditabung. Tujuannya agar kelak bisa membantu orangtua dan mertua.

Awalnya cukup berat, karena kebutuhan rumah tangga terus meningkat, sementara pemasukan tetap. Tapi dengan iringan doa tiap malam dan mencari solusi kesana-kemari, asa itu saya yakin ada.

Tak disangka, Allah membukakan pundi-pundi rezeki. Seorang ibu dan anaknya bertamu ke rumah. Ketika pulang, dia menitipkan uang untuk istri Rp 150 ribu. Alhamdulillah.

Seminggu kemudian saya bersilaturrahim ke seorang pelanggan Majalah Hidayatullah. Dia tanya tentang kegiatan yang saya lakukan. Eh, dia malah menanyakan nomor rekening. Subhanallah, setelah saya cek beberapa hari kemudian, ada kiriman uang Rp 252 ribu!

Waktu terus berjalan, hajatan mertua tinggal satu bulan lagi. Saya terus mengintensifkan doa dan menggencarkan silaturrahim untuk menawarkan bimbingan belajar dan majalah.

Suatu saat, saya disergap kelelahan teramat sangat setelah menjalani rutinitas di atas. Tiba-tiba datang seorang teman bersama istri dan anaknya. Setelah bicara kesana kemari sampai menjelang Maghrib, ia berpamitan pulang. Teman itu berbisik sambil menyerahkan amplop putih bersih, “Sekadar membantu, Mas.”

Karena penasaran, amplop itu saya buka. Rp 500 ribu! Allahu Akbar! Mahakaya Allah dalam memenuhi kebutuhan (hajat) hamba-Nya. Saya dan istri langsung bersyukur dan menyelimuti hati dengan dzikir.

Esok harinya, saya langsung antar uang itu ke orangtua dan sebagian lagi ke mertua. Adapun kekurangan lainnya kami upayakan ke sana kemari. Alhamdulillah, saya bisa membantu meringankan orangtua, biarpun cuma seberat biji sawi.

Ternyata kemurahan Allah tak henti sampai di sini. Dua bulan kemudian rekening saya mendapat kiriman Rp 150 ribu, entah dari siapa. Tiba-tiba saja. Uang itu pun saya pergunakan untuk membeli bangku guna memperlancar kegiatan Taman Pendidikan Al-Qur`an (TPA) yang kami asuh. Rencana ini memang sudah lama saya tekadkan.

Uang itu memang tak seberapa banyak. Tetapi keajaiban-keajaiban itu datang setelah kami berusaha memuliakan ibu. Maha Benar Allah akan janji-janji-Nya.
(oleh : Sahiri )

Jangan Sepelekan Pengemis

 
Pagi itu sebuah SMS masuk ke handphone Bu Salamah, dari suami beliau yang bekerja di Malaysia. Isinya pemberitahuan bahwa uang kebutuhan keluarga bulan Nopember telah ditransfer. Kontan saja SMS itu membuat Bu Salamah sumringah. Maklum, sejak beberapa hari terakhir, beliau memang sangat menungu-nunggu kabar tersebut. Terlebih anak beliau tertua yang masih kuliah. Ditambah lagi kebutuhan dua anaknya yang lain. Seperti pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba, dengan semangat Bu Salamah bergegas menuju Bank BNI cabang Gresik.

Jarak rumah Bu Salamah sendiri dengan Bank BNI tidak bisa dikatakan dekat, kira-kira 1 jam perjalanan. Untuk itu, seperti bulan-bulan sebelumnya, beliau memanfaatkan satu-satunya Bus yang memiliki trayek ke pusat kota semen tersebut.

"Assalamu'alaikum...Bapak dan Ibu yang saya hormati...." Tiba-tiba muncul seorang anak kecil berpakaian kumal di tengah-tengah penumpang bus yang sedang melaju. Dari pengakuannya, ia adalah anak yatim yang memerlukan sedikit uang untuk sekedar membeli nasi pengisi perut. Setelah menyampaikan "prolog" singkat, anak tersebut segera menengadahkan tangan kepada setiap penumpang.

Ketika tiba di bangku Bu Salamah duduk, mata anak itu terbelalak senang dan bahagia. Didapatinya lembar uang lima ribuan yang disodorkan oleh Bu Salamah. "Alhamdulillah, suwun Bu...suwun Bu....," ucapnya pelan dan hatinya begitu gembira. Ia pun berlalu menuju deret terakhir bangku bus tersebut.
" Oalah Bu..Bu,,,anak seperti itu kok dipercaya? diberi uang lagi..., numan (ketagihan) lho...??!!" cetus seorang wanita muda yang duduk di sebelah Bu Salamah.

Bu Salamah terkaget dan menoleh ke sumber suara. "Tak apa Mbak,,kasihan khan??? cuma lima ribu. Yah,,dari pada nanti dia mencuri atau......" Bu Salamah tak melanjutkan kata-katanya, dan segera mengucap "Astaghfirullah.."
" Saya malas Bu, ngasih uang kepada anak-anak seperti itu. Mereka banyak bohongnya. Oh ya, Ibu mau kemana?."
"Ke Bank juga.."
"BNI?"
"Ya.."
"Berarti kita satu tujuan, Mbak."

Pukul dua siang lewat lima belas menit, Bu Salamah dan Indah, wanita muda itu keluar dari Bank BNI. Mereka segera mencari angkot yang akan membawa mereka ke halte dimana bus biasa ngetem menunggu penumpang. Tanpa mereka sangka, seorang lelaki tegap bergelang akar bahar di tangan kanannya, dengan aroma menyengat minyak wangi Arab menepuk pundak mereka. Dan, dengan ramah lelaki tersebut menawarkan tumpangan gratis sampai ke rumah.
Pada mulanya Bu Salamah menolak tawaran itu karena beliau mencium gelagat yang tidak beres. Tetapi karena Indah mendesaknya maka terpaksa beliaupun turut serta. Ya, Indah seperti kerbau yang dicucuk hidungnya oleh kata-kata manis lelaki tersebut.

Masuklah mereka berdua ke dalam mobil lelaki tersebut. Apa yang terjadi? ternyata di dalam mobil sudah ada tiga lelaki lain. Mobil segera melaju. Di tengah-tengah perjalanan, tidak henti-hentinya mereka merayu Indah dan Bu Salamah.

"Sepertinya cincin dan kalung Mbak ini mahal ya? boleh saya lihat?.kata salah seorang dari mereka.

Dan, Indah pun meyerahkannya. Termasuk akhirnya Indah memberikan tas yang berisi uang yang baru saja diambilnya dari Bank BNI.
Para lelaki itu telah mampu memperdaya Indah, bagaiman dengan Bu Salamah? Ibu tiga anak ini seperti mendapatkan kekuatan untuk melawan pengaruh mantra mereka sehingga merekapun akhirnya marah.

Bu Salamah tidak sudi menyerahkan satu perhiasanpun apalagi tas berisi uang yang baru saja diambilnya itu. Akhirnya mereka menghentikan mobil tersebut dan memaksa kedua perempuan itu turun, kemudian mobil itupun tancap gas.
Sesaat setelah itu, sadarlah Indah kalau ternyata ia terkena gendam. Indah menangis sejadi-jadinya dan menyesali kebodohannya. Bu Salamah kemudian menghiburnya, kemudian beliau langsung teringat akan kejadian tadi pagi.

"Subhanalloh, jangan-jangan sedekah lima ribu kepada anak yatim itu yang mengundang perlindungan Alloh SWT atas diriku..?" ucapnya lirih.

Seorang Polisi dan Penerobos Lampu Merah

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau.
Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat.
Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah
biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang.
Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar berharap semoga ia bisa
melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah
menyala.Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. "Ah, aku tak
punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus
melaju.

Prit.....!!!

Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti.
Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari
kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Jono agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
"Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"
"Hai, Jon." Tanpa senyum.
"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru.
Istri saya sedang menunggu di rumah."
"Oh ya?"
Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.

"Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan
segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."
"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi
lampu merah di persimpangan ini."

Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.

"Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu
merah.. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala."

Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

"Ayo dong Jon. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu."

Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan
menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku
tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono
memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa.Dibukanya kaca jendela itu
sedikit.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa
berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang
diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata
SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku.
Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan
membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.

"Halo Jono, Tahukah kamu Jon, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan.
Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos
lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas,
ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami
satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar
Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan
kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga
kali ini. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan.
Berhati-hatilah. (Salam, Bobi)".

Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun,
Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan
pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap
kesalahannya dimaafkan... ....

Keikhlasan Yang Mulia

Ada sebuah cerita menarik dan mudahan bisa menginspirasi kita, mari kita baca..
cuaca hari ini sangat sangat panas. Mbah sarno terus mengayuh sepeda tuanya menyisir jalan perumahan condong catur demi menyambung hidup. Mbah sarno sudah puluhan tahun berprofesi sebagai tukang sol sepatu keliling. Jika orang lain mungkin berfikir “mau nonton apa saya malam ini?”, mbah sarno cuma bisa berfikir “saya bisa makan atau nggak malam ini?”

di tengah cuaca panas seperti ini pun terasa sangat sulit baginya untuk mendapatkan pelanggan. Bagi mbah sarno, setiap hari adalah hari kerja. Dimana ada peluang untuk menghasilkan rupiah, disitu dia akan terus berusaha. Hebatnya, beliau adalah orang yang sangat jujur. Meskipun miskin, tak pernah sekalipun ia mengambil hak orang lain.

Jam 11, saat tiba di depan sebuah rumah mewah di ujung gang, diapun akhirnya mendapat pelanggan pertamanya hari ini. Seorang pemuda usia 20 tahunan, terlihat sangat terburu-buru.

Ketika mbah sarno menampal sepatunya yang bolong, ia terus menerus melihat jam. Karena pekerjaan ini sudah digelutinya bertahun-tahun, dalam waktu singkat pun ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.

“wah cepat sekali. Berapa pak?”

“5000 rupiah mas”

sang pemuda pun mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompetnya. Mbah sarno jelas kaget dan tentu ia tidak punya uang kembalian sama sekali apalagi sang pemuda ini adalah pelanggan pertamanya hari ini.

“wah mas gak ada uang pas ya?”

“nggak ada pak, uang saya tinggal selembar ini, belum dipecah pak”

“maaf mas, saya nggak punya uang kembalian”

“waduh repot juga kalo gitu. Ya sudah saya cari dulu sebentar pak ke warung depan”

“udah mas nggak usah repot-repot. Mas bawa dulu saja. Saya perhatikan mas lagi buru-buru. Lain waktu saja mas kalau kita ketemu lagi.”

“oh syukurlah kalo gitu. Ya sudah makasih ya pak.”

jam demi jam berlalu dan tampaknya ini hari yang tidak menguntungkan bagi mbah sarno. Dia cuma mendapatkan 1 pelanggan dan itupun belum membayar. Ia terus menanamkan dalam hatinya, “ikhlas. Insya allah akan dapat gantinya.”

ketika waktu menunjukkan pukul 3 lebih ia pun menyempatkan diri shalat ashar di masjid depan lapangan bola sekolah. Selesai shalat ia berdoa.

“ya allah, izinkan aku mencicipi secuil rezekimu hari ini. Hari ini aku akan terus berusaha, selebihnya adalah kehendakmu.”

selesai berdoa panjang, ia pun bangkit untuk melanjutkan pekerjaannya.

Ketika ia akan menuju sepedanya, ia kaget karena pemuda yang tadi siang menjadi pelanggannya telah menunggu di samping sepedanya.

“wah kebetulan kita ketemu disini, pak. Ini bayaran yang tadi siang pak.”

kali ini pemuda tadi tetap mengeluarkan uang seratus ribuan. Tidak hanya selembar, tapi 5 lembar.

“loh loh mas? Ini mas belum mecahin uang ya? Maaf mas saya masih belum punya kembalian. Ini juga kok 5 lembar mas. Ini nggak salah ngambil mas?”

“sudah pak, terima saja. Kembaliannya, sudah saya terima tadi, pak. Hari ini saya tes wawancara. Telat 5 menit saja saya sudah gagal pak. Untung bapak membiarkan saya pergi dulu. Insya allah minggu depan saya berangkat ke prancis pak. Saya mohon doanya pak”
“tapi ini terlalu banyak mas”

“saya bayar sol sepatu cuma rp 5000 pak. Sisanya untuk membayar kesuksesan saya hari ini dan keikhlasan bapak hari ini.”

RAHASIA SEDEKAH : Ibu Janda Yang Bersedekah Rp. 1 Juta


RAHASIA SEDEKAH : Ibu Janda Yang Bersedekah Rp. 1 Juta
Seorang ibu berusia 59 tahun bernama Hastuti di Jati Asih Bekasi saat itu sedang gamang. Ia tengah berdiri di sebuah konter bank setelah menarik dana sebesar 1 juta rupiah dari Teller. Rasa sedih menghinggapinya lagi. Hampir saja ia menangis meratapi jumlah saldo tabungannya yang kini tersisa 7 juta sekian.

Bukan masalah duit yang tersisa yang sebenarnya yang membuat ia hampir menangis. Namun, sungguh saldo itu semakin jauh saja dari Biaya Setoran Haji yang berjumlah 28 juta.

Sudah berkali-kali ia mencoba menyisihkan uang yang ia miliki untuk dapat berhaji. Namun sudah berulang kali angka saldo itu tidak pernah lebih dari Rp 8 juta. Setiap kali sampai angka tersebut, selalu ada saja keperluan mendesak yang harus ia tutupi. Jadi, saldo di tabungan bukannya makin bertambah, yang ada selalu kurang dan berkurang. Semalam Hastuti tak kuasa menahan gundahnya. Ia laporkan kegalauannya kepada Tuhan Yang Maha Mendengar dalam doa & munajat.

Seolah mendapat ilham dari Allah, paginya ia menarik dana sebesar 1 juta. Kali ini dana yang ia tarik bukan untuk keperluannya pribadi, namun uang sejumlah itu akan ia infakkan kepada anak-anak yatim yang berada di lingkungannya.

Sejak pagi, ibu Hastuti sudah keluar dari rumah. Menjelang sore, baru ia kembali setelah mengambil uang di bank dan kemudian membagikannya kepada anak-anak yatim di sekitar.

Ia tiba di rumah pada pukul setengah empat sore. Ia langsung menuju kamar. Usai ganti baju dan shalat Ashar, ia panggil pembantunya yang bernama Ijah untuk membuatkan secangkir teh.

Ijah pun datang dan membawakan teh untuk sang Majikan. Dalam rumah seluas 200 meter itu, hanya mereka berdua yang mendiami. Ibu Hastuti adalah seorang perempuan yang sudah belasan tahun menjanda. Ia memilik 3 orang putra dan 2 putri. Kini semuanya telah berkeluarga dan meninggalkan rumah. Ibu Hastuti tinggal sendiri bersama Ijah dalam masa tuanya. Hal ini mungkin adalah sebuah potret lumrah masyarakat modern Indonesia zaman sekarang.

Saat Ijah datang membawa teh pesanan majikannya. Setelah meletakkan cangkir teh di meja, Ijah mendekat ke arah majikannya untuk memyampaikan sebuah berita.

"Bu..., tadi saat ibu pergi, den Bagus datang kira-kira jam 9. Ia tadinya mencari ibu, tapi karena ibu gak ada di rumah, ia nulis surat dan nitipkan sebuah amplop cokelat."

Ibu Hastuti pun kemudian mengatakan, "Oalah... Kok nggak bilang-bilang kalau mau datang. Aku khan juga kangen. Sudah lama gak ketemu. Ayo, mana Jah suratnya. Mungkin dia juga kesel sudah datang jauh-jauh tapi gak ketemu dengan bundanya."

Ijah pun masuk kembali untuk mengambil surat den Bagus dan amplop yang dititipkan. Amplop cokelat itu seperti berisikan sejumlah uang. Bentuknya pun tebal. Apalagi dalam amplop tersebut bertuliskan logo sebuah bank. Namun hasrat untuk membuka amplop itupun ditahan oleh Bu Hastuti. Tangannya kemudian bergerak ke selembar kertas yang disebut sebagai surat oleh Ijah.

Bu Hastuti mulai membacanya. Diawali dengan basmalah dan salam, surat itu dibuka. Tak lupa ucapan dan doa kesehatan untuk bunda dari anak-anaknya.

Tak lebih dari 2 menit, surat itu telah selesai dibaca oleh ibu Hastuti. Namun dalam masa yang singkat itu, air mata membanjiri kedua matanya, mengalir deras menetesi pipi dan beberapa bulir terlihat jatuh di surat yang ia pegang. Kemudian ia pun mengintip uang yang berada dalam amplop cokelat itu. Kemudian ia berucap kata "Subhanallah!" berulang-ulang seraya memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan atas anugerah yang tiada terkira.

Seusai mengontrol hatinya, ia segera menelpon Bagus, anak pertamanya. Saat nada sambung terdengar, ia menarik nafas yang dalam. Begitu tersambung, bu Hastuti langsung mengucapkan salam dan mengatakan,

"Terima kasih ya Nak... Subhanallah, padahal baru semalam ibu berdoa mengadu kepada Allah kepingin berhaji, tapi ibu malu mau cerita kepada kalian semua. Takut ngerepotin... Eh, kok malah pagi-pagi kalian semua sudah nganterin duit sebanyak itu. Makasih ya, Nak... Nanti ibu juga mau telponin adik-adikmu yang lain. Semoga murah rezeki dan tambah berkah!"

Di seberang sana, Bagus putra pertamanya berkata, "Sama-sama bu... Itu hanya kebetulan kok. Beberapa hari lalu, saya ajak adik-adik untuk rembugan supaya dapat menghajikan ibu. Kebetulan kami semua lagi diberi kelapangan, maka Alhamdulillah uang itu dapat terkumpul. Mudah-mudahan ibu bisa berhaji selekas mungkin...."

Nada suara Bagus terdengar ceria oleh ibunya. Seceria hati Hastuti kini. Sudah lama ia bersabar untuk dapat berhaji ke Baitullah.

Alhamdulillah setelah penantian sekian lama, Allah lapangkan jalan bu Hastuti untuk datang ke rumah-Nya dengan begitu mudah. Dengan dana Rp 30 juta dari anak-anaknya, niat untuk berhaji pun ia wujudkan pada tahun 2004. Walillahil Hamd!

( Oleh : Bobby Herwibowo )

Maha Menepati Janji

Siang itu HP saya berbunyi. Mengalun sebuah lagu dari Peter Pan sebagai ringtone-nya ‘Tak Ada yang Abadi’. Sebuah nama tertulis di layar hp. Adik saya. Dan ia menyapa, ”Assalamu’alaikum.. Apa kabar Mas?”

Saya,”Wa’alaikum salam, Alhamdulillah kabar baik. Ada apa nih?”

“Begini Mas. Di tempatku sekarang sedang ada pendaftaran guru CPNS, rencananya aku mau ikut lagi. Kan tahun kemarin gagal to. Nah, kemarin itu aku ditawarin ama orang kepercayaannya Bupati kalau mau lewat jalurnya dia, dijamin pasti diterima. Tapi dia minta Rp 70.000.000,- dan aku hanya punya Rp 30.000.000,- mbok aku tolong dipinjami dulu Mas…”

Saat itu saya sedang tak memiliki uang sebanyak itu. Jadi saya tak bisa meminjaminya. Tapi agar terdengar lebih gagah sebagai kakak yang dianggap ’sukses’, inilah jawaban saya,”Begini Dik, bukannya aku gak mau minjemin uangnya. Tapi coba deh dipikir lagi, kalaupun misalnya nanti diterima jadi guru CPNS, sadarkah kalau gaji yang akan kau terima setiap bulan selama jadi PNS itu haram? Karena tanamannya haram. Masa’ keluarga akan diberi hasil yang haram? Belum lagi kalau si A yang mau bawa bahkan Bupatinya diganti sebelum pengumuman, apa nggak hangus uangnya? Sebaiknya tidak usah lewat jalur itu, lewat jalur biasa aja.”

Adik saya,”Tapi kalo lewat jalur biasa tidak mungkin diterima Mas. Teman-temanku yang ikut jalur khusus itu udah 4 orang, jaminan diterima. Aku kuatir nanti gak diterima lagi…”

Saya jawab,”Begini, ini ada jalan yang jauh lebih baik kalau mau diterima jadi guru. Berapa tadi bayarnya? Rp 70.000.000,- ya? Tempuhlah jalan yang halal dan jadikan upaya menggapai PNS sebagai riyadhah, ibadah untuk menggapai Ridho Allah. Sholat wajibnya benerin agar tepat waktu, sholat tahajud dan dhuha-nya ditambah, puasa sunat Senin Kamis dikerjakan dan sedekahlah dengan sedekah terbaik. Daripada bayar Rp 70.000.000,- lebih baik sedekahin 10%nya saja. Sekitar Rp 7.000.000,- Dan berdoa ama Allah agar dimudahkan jalannya. Lalu cari anak-anak yang tidak mampu bayar SPP, bayarin. Cari guru-guru yang ekonominya susah, bantulah. Cari anak-anak yatim yang pengen sekolah, bayarin. Begitu.”

Pembicaraan berlanjut, tapi intinya: adik saya akhirnya – setelah saya yakinkan - bersedia mengikuti saran kakaknya.

Telepon ditutup dan sayapun melanjutkan aktivitas saya di biro iklan yang saya dirikan bersama teman-teman.

Dan kurang lebih sebulan berlalu.

Siang itu telepon saya berdering. Dari adik saya.

“Mas, pengumuman CPNS-nya udah keluar. Aku gak diterima….”

Lalu terdengar isak tangis… Hening…..

“Teman-temanku yang membayar semuanya diterima ada 6 orang padahal formasinya waktu awal diumumkan hanya 4 orang. Dan mereka memang membayar Rp 70 - 100 juta/orang. Aku sudah jalanin semua saran Mas yang kemarin, tapi tetep gak diterimaaaa…”

Tangisnya meledak. Dan telepon pun terputus.

Saya terdiam. Memandang langit, seolah tidak percaya. Saya terkejut mendengar dia sedikit protes: udah ibadah kok masih gak dikabul doanya? Amal sholeh yang dikerjakannya ternyata tak mampu membuat harapannya terkabul, gak berfaedah, tumpul tidak berguna. Sedekahnya ke panti asuhan, bayarin anak orang lain sekolah, ber-qurban dengan jumlah sekitar 7 juta rupiah seolah ‘menguap’. Hilang tak berbekas.

Tapi saya masih punya setitik keyakinan bahwa meyakini pertolongan Allah itu tidak mungkin salah. Dalam kegalauan hati saya, saya pun kirim sms padanya: Dijalani saja ujiannya dengan sabar. Sholatnya ditambah, sedekahnya ditambah, doanya ditambah. Lebih baik pake jalan lurus tapi tidak diterima PNS daripada diterima jadi PNS tapi diawali dengan dosa. Jalan benar biasanya tidak mudah. Tapi Allah tidak tidur, Allah akan berikan ganti yang lebih baik jika kita khusnudzon & istiqomah di jalan-Nya…

Dan sent.

Apakah sms saya ini hanya untuk menghibur hatinya yang gundah? Demi Allah, tidak! Sms ini adalah sms jujur yang saya tulis dari dalam hati saya dan Insya Allah benar. Saya yakin itu. Seyakin-yakinnya. Lha, tapi kan sms itu tidak membuatnya jadi PNS? Jika akhirnya nganggur, sms motivasi begitu mana ada manfaatnya?

Di ujung sana sambil membaca sms saya, adik saya mungkin berfikir: lhaaah, ini mah sama aja sama sarannya kemarin. Udah dijalanin semua ikhtiarnya ke Allah dengan sholat, puasa, sedekah tapi hasilnya nehi, nol, gak kabul. Ini udah tidak diterima jadi PNS masih harus nglanjutin lagi ikhtiarnya? Please deh… Malaikat aja kali yang bisa!

Tapi saya yakinnya begitu. Rejeki itu dari Allah, bukan dari pemerintah, makelar CPNS atau lainnya.

Coba bayangin. Jika kita masuk CPNS - dalam kasus ini lowongannya adalah guru - dan lewat jalan tidak halal karena menyuap, rejeki yang masuk tiap bulan sebagai gaji kita kan gak halal, gak bersih. Bibitnya aja sudah gak bersih (suap). Lalu keluarga akan diberi makan dari rejeki itu, anak-anak akan dipelihara dan dibesarkan dengan harta haram dan ketidakjujuran. Jika ia jadi guru, Untuk menegur murid yang menyontek saja, sudah tidak layak. Mana bisa dia bilang ke murid-muridnya untuk menjadi generasi masa depan yang mulia. Dia jadi guru aja daftarnya dengan menyuap.

Keluarga yang rejekinya tidak bersih tidak akan diberikan Allah ketentraman, ketenangan, kebahagiaan. Bener bahwa dia akan bisa kredit rumah, kredit mobil dan jadi kaya. Tapi jika ketentraman tak ada di rumah itu: buat apa? Kalo Allah mau, rumah semahal apapun takkan bisa dinikmati penghuninya. Dengan cara mengusirnya dari rumah sendiri: harus mondok di rumah sakit karena serangan jantung, dipenjara karena korupsi atau sembunyi di goa-goa jadi buronan polisi.

Dan waktupun berlalu. Tak ada komunikasi lagi setelah itu.

Dan sekitar dua minggu setelah pengumuman ketidaklulusan itu, hp saya berdering, sebuah suara di ujung telpon dari adik saya menyapa,”Mas, lagi di Jogja atau di Jakarta? Aku mau minta tolong nih, boleh ngrepotin dicariin laptop gak ya. Suamiku butuh nih buat nulis-nulis, soale komputer satunya lagi agak ngadat.”

Saya jawab,”Laptop yang gimana kira-kira?”

Adik saya,”Yang bagus lah, sekitar 5-6 jutaan gitu..”

Saya,”Tumben, biasanya suka cari yang murah. Lagi banyak duit?”

Adik saya,”Alhamdulillah kemarin suamiku dapat rejeki dari saudaranya. Namanya tertulis di daftar waris Pakdenya dan suamiku mendapat bagiannya.”

Saya,”Alhamdulillah…”

Adik saya,”70 juta rupiah, Mas..”

“Subhanallah!” keterkejutan saya beriring dengan syukur yang luar biasa.

Saya terdiam setelah itu dan menyadari bahwa kisah ini bukan ditujukan untuk adik saya tapi buat saya. Rp 70.000.000,- itu adalah janji Allah yang tertunaikan setelah adik saya bersedekah Rp 7.000.000,-

Allah seolah menyampaikan kepada saya: Aku tak pernah mengingkari janji-Ku. Takkan pernah. Jikapun kamu tidak yakin, jikapun kamu tidak percaya, jikapun kamu bingung, gundah gulana, cemas, khawatir: ikutilah jalan-Ku maka pasti selamat.

( Oleh : Arief Budiman )

RAHASIA SEDEKAH : Pertolongan Sedekah 500 Perak

RAHASIA SEDEKAH : Pertolongan Sedekah 500 Perak
Mungkin kita gak nyadar kalo hanya dengan sedekah 500 perak, ternyata kita bisa jadi beruntung seharian. Kenapa? Ini pengalaman saya. Biasanya orang kan kalo mau sedekah suka pertimbangan sana-sini, misalnya sedekah 10.000, 5.000, atau 1.000 ya? Kalo 10.000, lumayan buat beli makan siang. Kalo 5.000, lumayan buat ongkos sebalik. Kalo 1.000, lumayan buat beli es nong-nong atau keripik di bungkus kecil (pelit.com yah!). Akhirnya, 500 perak lah yang kita ikhlas berikan kepada pengemis, amal di mesjid, dan atau pengamen. Judulnya, yang penting ikhlas walau hanya dengan 500 perak. Ikhlas menurut saya nih, bila hati berkata kasih aja tuh duit, yah kasih tanpa berpikir ini-itu, takut keburu hilang niat baiknya.

Nah, kemarin saya ketemu pengemis tua di depan stasiun. Saya lihat dia, langsung merasa kasihan dan langsung kasih 500 perak. Saya gak berpikir saya bakal dapat apa yah setelah ngasih tuh bapak? Karena cuma 500 perak, malu saya mengharap sesuatu yang bahkan sedikit dari Allah dengan pemberian yang sangat kecil itu. Saya langsung berlalu dan menuju peron tuk menunggu kereta. Seperti biasa, saya gak dapat tempat duduk, dan di depan saya duduklah seorang ibu dengan anaknya yang masih balita. Anaknya menangis sambil teriak gitu, pekak telinga ini mendengarnya, mana AC-nya dingin banget lagi dan saya gak bawa jaket. Saya pengen pindah tapi males karena udah pw alias posisi wuenak dengan posisi diri saya he..he.. Lengkaplah penderitaan saya (saya yang buat sih!).

Keberuntungan datang karena di sebelah saya ada orang yang baca koran dan beritanya menarik sehingga saya jadi nimbrung baca. Dan dari berita itula saya mendapat ide tuk menuliskannya di Kompasiana judulnya “Guru, Kenapa Engkau Mencuri”, dan ternyata respon kompasioner cukup banyak, mengalahkan respon postingan saya sebelumnya. Keberuntungan yang lain yaitu: seharian saya ketemu orang yang ramah dan baik. Setiap keinginan-keinginan kecil saya dikabulkan oleh Allah, seperti ketika pulang saya ingin kereta cepet datang sehingga saya cepet sampe rumah, kemudian bisa mandi dan sholat di rumah. Karena sebelumnya, saya selalu sholat di mesjid stasiun dan sampe rumah 15 menit setelah adzan Isya. Eh, tiba-tiba si petugas kereta bilang kereta akan datang. Seneng banget dong, walau penuh tuh kereta, yang penting pulang cepet. Baru 10 menit di kereta, seorang bapak menyodorkan tempat duduk, biasanya gak ada tuh yang kasih tempat duduk dengan banyaknya penumpang di gerbong itu.

Beberapa menit kemudian hujan, saya gak mau kehujanan. Eh, ternyata sampe stasiun Depok Baru, hujan berhenti. Seneng lagi hati saya. Angkot yang saya tumpangi hanya satu penumpangnya yaitu saya sendiri. Saya was-was, ah pasti ngetemnya lama. Eh, gak taunya si sopir mau ngetem gak bisa karena ada polisi. Karena kasihan sama tuh sopir dan saya gak mau jadi satu-satunya penumpang, maka dalam hati saya minta sama Allah, “Ada kek penumpang kira-kira 5 orang.” Eh, beberapa menit kemudian, ada penumpang 3 orang. Sama saya berarti jadi 4 dong. Yah lumayan! Beberapa menit kemudian ada 1 penumpang masuk, berarti pas jadi 5 penumpang! Ketika sampai ke jalan menuju rumah saya, saya lihat jalanan becek banget, dan rintik-rintik hujan mulai menyergap. Saya gak mau kehujanan. Seperti biasa saya naik ojek. Dan setelah saya sampai rumah, hujan langsung menyergap kawasan sekitar saya, dan mungkin kawasan yang lain juga hujan. Saya bersyukur banget, ternyata keinginan-keinginan kecil saya terkabul ole Allah hanya gara-gara sedekah 500 perak.

(oleh: Mariska Shinta )

RAHASIA SEDEKAH : Si Gembel yang Luar Biasa

RAHASIA SEDEKAH : Si Gembel yang Luar Biasa
Allah benar-benar memberi saya sebaik-baik pengalaman hari ini. Pengalaman yang luar biasa sekaligus bikin miris hati.

Sosok itu jelas di mata saya. Seorang pria kumal bin dekil dengan rambut gimbal dan kulit hitam yang sedang clingak-clinguk. Setiap orang yang pertama kali melihatnya pasti akan bilang dia orang gila. Karena memang seperti itu tampilannya. Tapi kenapa beliau ke masjid? Emang beliau mau ngapain?

Sambil memakai mukena pelan-pelan saya fokuskan mata dan pikiran saya ke sosok menarik ini. Tiba-tiba beliau menggulung kedua celana panjang hitam bercampur coklat lumpur dan debunya, lalu berdiri seperti menunggu.

Oh..rupanya beliau mau ke kamar mandi. Tapi kenapa nunggu? Betul kamar mandi untuk prianya sedang ada yang pakai, tapi kamar mandi untuk wanitanya kan kosong? Kalau beliau kurang waras pasti beliau bisa dong main nyelonong aja ke situ? Berarti beliau tau kalau kamar mandi satunya untuk wanita dan beliau tidak berhak di situ?

Ngga lama kemudian bliau keluar dan segera ke tempat wudhu. Mau ngapain beliau? Oh..mungkin mau membasuh muka, rambut, dan tangannya saja. Saya ngga sempat perhatikan sampai selesai karena iqomat sudah berbunyi.

Saya pun menyempurnakan sholat Dhuhur hingga akhir. Begitu berdiri dan balik badan (adalah kebiasaan saya melipat mukena sambil berdiri…), kagetlah saya karena beliau si kumal itu sedang duduk attahiyyat akhir di teras masjid sambil menggerakkan ibu jarinya di tiap ruas jari yang lain.

Subhanallah… saya bener2 bengong. Antara pikiran dan hati saya langsung ngga nyambung. Pikiran saya ‘menolak’ kenyataan beliau sholat karena pakaian beliau yang menurut saya ngga sah untuk sholat. Tapi hati saya benar2 terenyuh sekaligus bangga.

Saya pun merapikan mukena masjid dan bersiap memakai kaos kaki. Begitu mau keluar pintu masjid, nampak beliau keluar gerbang masjid sambil menunjuk kotak infaq di belakang suami saya yang tersenyum.

Saya menebak apa yang sedang terjadi. Akhirnya saya menyusul suami keluar dan melewati beliau yang sudah duduk di samping luar masjid. “Yah, orang itu tadi sholat ya?”. “Iya. Terus tadi ayah kasih uang juga ngga mau. Malah nunjuk ke kotak infaq.” Allahu Akbar…benar tebakan saya. Beliau si kumal itu masih bisa menolak uang dan bahkan mengarahkan suami untuk memasukannya ke kotak infaq.

Tiga hal tadi sudah bisa membuat saya sangat kacau. Saya bangga. Tapi ngga lama kemudian saya berbisik, “Robb…beliau sudah berbuat hebat seperti itu. Tapi adakah perhatian dari orang2 sekitar? Dari tadi hamba lihat wanita berkerudung panjang berseliweran. Pria-pria berjenggot lagi bersih juga hilir mudik.

Dan bukankah beberapa meter dari masjid ini ada komplek perumahan tempat tinggal walikota dari partai dakwah, daiyah terkenal, dan seorang pengusaha muslim beraset miliaran? Apakah beliau ini luput dari penglihatan mereka? Atau memang beliau sudah didekati tapi tidak mau?”. Saya sibuk menerka sendiri dengan tetap mengutamakan khusnuzhon.

Saya dan suami pun menuju motor sambil terdiam. Saya merasa linglung. Secara logika saya ngga terima. Tapi dengan imanlah akhirnya saya bisa memahami. Alloh berbuat apa yang Dia kehendaki.

Apa yang saya lihat hari ini tidak kalah berharga dengan kisah-kisah hebat para Nabi dan Sahabat yang pernah saya baca. Dan saya, berjuta kali lebih menghormati beliau ketimbang orang-orang berilmu dengan deretan titel haji, doktor, profesor, dan sebagainya, tapi masih sanggup korupsi, sanggup menipu dan merampok hak orang bahkan rakyat, dan sanggup berbuat nista lainnya.

(Oleh : Ruhana Taqiyya )